EKBIS.CO, JAKARTA – Gabungan Pengusahan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menilai tudingan AS terhadap crude palm oil (CPO) Indonesia karena AS merasa terancam. Negara tersebut dianggap ketakutan dengan pertumbuhan ekspor minyak sawit Indonesia.
"Minyak sawit memiliki competitiveness yang lebih baik dari minyak kedelai atau minyak jagung Amerika," tegas Sekretaris Jenderal (Sekjen) GAPKI, Joko Supriono saat dihubungi Republika, Jumat (2/3). Sehingga kemungkinan AS mengeluarkan pernyataan tersebut guna melindungi komoditas kedelai dan jagung yang menjadi ekspor utama negara itu.
Ia pun menuturkan negara maju memang selalu menggunakan alasan ilmiah untuk menekan industri Indonesia. Padahal, kata Joko, sebenarnya apa yang dipaparkan masih debatable.
"Khusus untuk CPO, AS menggunakan asumsi yang kurang relevan dengan kondisi Indonesia," jelasnya. Sehingga, ia beranggapan pernyataan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi Indonesia.
Pada Januari lalu, Badan Lingkungan AS, Environment Protection Agency (EPA) mengeluarkan notice of data availability (NODA) tentang CPO Indonesia. Kelapa sawit produksi Indonesia dianggap tidak memenuhi syarat minimal standar energi terbarukan AS terkait emisi gas rumah kaca, sebesar 20 persen.
NODA EPA menyebutkan biofuel minyak sawit Indonesia yang masuk ke pasar AS berada pada level 17 persen. Sedangkan untuk renewable diesel, EPA mencatat minimal standar energi terbarukannya hanya 11 persen.
AS pun meminta tanggapan Indonesia paling lambat 28 Februari. Tetapi, hal ini kemudian mundur hingga 28 Maret nanti. Namun pemerintah menjamin jawaban akan segera muncul, paling lambat 10 Maret ini.
Banyak pihak juga menggaitkan hal ini dengan pemberlakuan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) baru tentang pembatasan pintu masuk impor holtikultura. Pasalnya aturan ini juga bakal mulai berlaku pada 19 Maret ini.
Dalam Permentan baru tersebut pintu masuk impor holtikultura hanya dibatasi di empat tempat yakni Pelabuhan Belawan Medan, Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Pelabuhan Makassar dan Bandar Udara Soekarno Hatta. Aturan ini memberatkan sejumlah negara termasuk AS karena membebani biaya negara-negara tersebut.