EKBIS.CO, MEDAN - Kopi robusta yang berasal dari Kabupaten Dairi, Sumatera Utara yang pernah terkenal terkenal di tanah air ini, berangsur-angsur mulai hilang di pasaran. Bahkan banyak petani di daerah itu sudah beralih dengan membudidayakan tanaman lain.
Tanaman yang dikembangkan para petani di kabupaten yang memiliki luas 192.708 hektare itu, seperti kakao, jagung, jeruk, kelapa unggul dan tanaman sayur-sayur lainnya yang dianggap memiliki nilai ekonomis tinggi.
Beralihnya sebahagian para petani kopi itu, dengan menanam tanaman yang lain, bisa juga dikarenakan adanya "kejenuhan". Pasalnya. mereka yang sejak dari dulu hanya merawat kopi dan mungkin perlu adanya penyegaran.
Salah seorang petani kopi di Kecamatan Siempat Nampu Hilir, Entah Manik (56) mengakui, kopi Robusta Dairi saat ini ini mulai kelihatan menghilang dari pasaran. Sehingga konsumen maupun masyarakat yang menyukai bubuk minuman itu kesulitan mendapatkannya.
Kopi jenis robusta itu mulai ditinggalkan atau tidak ditanam lagi oleh petani, dan mereka beralih pada jenis kopi arabika yang biasa disebut kopi "ateng" (batangnya pendek).
Hilangnya kopi robusta dari pasar, menurut dia, sesuai dengan perkembangan zaman dan petani yang ada di beberapa kecamatan Kabupaten Dairi yang menganggap tanaman kopi jenis itu tidak cocok lagi dibudidayakan.
"Ini juga sempat mengganggu pasaran komoditi kopi itu khususnya di Kabupaten Dairi dan umumnya di Provinsi Sumatera Utara (Sumut)," kata Manik. Dia mengatakan, peremajaan tanaman kopi di kabupaten itu, wajar dilakukan petani, mengingat sudah berusia 25 tahun dan kedaluarsa.
Sedangkan tanaman kopi tersebut, usianya yang wajar adalah 10-15 tahun, dan masih dapat berbuah. Namun, jelasnya, kalau sampai ada tanaman kopi usianya mencapai 25 tahun, maka tidak dapat lagi berbuah. Tanaman seusia itu, imbuhnya, sudah tua dan lebih baik dibongkar.
"Tanaman kopi yang seusia itu, hanya menyemak-nyemakkan lahan perkebunan milik kita, dan cabut saja," ucap dia.
Kemudian, alasan petani memilih menumbuhkan kopi ateng, pada usia dua tahun kopi arabika tersebut sudah dapat berbuah dan hasilnya bisa dimanfaatkan, serta diolah menjadi bubuk kopi. "Pokoknya kopi arabika itu sangat banyak digemari saat ini di Kabupaten Dairi. Petani banyak yang kelihatan menanam kopi arabika," ujarnya.
Ketika ditanya berapa luas tanaman kopi yang dimilikinya, Manik mengatakan, lebih kurang 0,5 hektare dan hidup dengan subur, serta terawat dengan rapi. Kalau musim panen, harga biji kopi bisa mencapai Rp28.000 per kilogram.Namun kalau tidak musim panen Rp38.000 per kilogram.
"Kopi arabika, saat ini merupakan komoditi andalan bagi Pemerintah Kabupaten Dairi, selain tanaman lainnya seperti kakao (coklat), jagung, jeruk dan sayur-sayuran," kata Manik.
Kopi diganti kakao
Seorang petani kopi di Desa Lau Sireme, Kecamatan Tigalingga, Luhut Sinaga (56) menyebutkan, tanaman kopi jenis robusta dan arabika di beberapa kecamatan di Kabupaten Dairi, dewasa ini banyak yang diganti dengan tanaman baru berupa kakao. Alasannya, bahan mentah coklat ini dinilai memiliki prospek pasar menjanjikan.
Tanaman kopi itu terpaksa harus diganti, karena sudah tua dan juga tidak lagi menghasilkan buah seperti yang diharapkan petani. "Saat ini, petani kopi di daerah tersebut banyak yang menjadi petani kakao dan banyak yang menghasilkan," katanya. Sinaga mengatakan, beralihnya petani di pedesaan itu menanam coklat, karena komoditi ini menjanjikan dan sangat laku di pasaran.
"Jadi, wajar para petani di Kecamatan Lau Sireme ramai-ramai membudidayakan coklat, karena harganya juga mahal dan termasuk komoditi ekspor," katanya. Petani tersebut merasa senang dengan mengembangkan coklat
Dia mengatakan, luas lahan tanaman kopi robusta yang dijadikan areal coklat mencapai lebih kurang 1 hektare.Tanaman kakao itu, berkembang dengan baik, karena dirawat dan dipupuk.
"Kemungkinan tanaman kakao tersebut, tidak berapa lama lagi akan panen.S aat ini warnya sudah kelihatan merah tua dan bercampur coklat dan hanya menunggu harinya untuk dipetik," ucap dia.