EKBIS.CO, JAKARTA--Pengamat energi Kurtubi mendesak pemerintah untuk menyerahkan pengelolaan blok Mahakam di Kalimantan Timur kepada PT Pertamina (Persero) saat kontrak perusahaan migas asal Prancis, Total E&P Indonesie di wilayah kerja itu berakhir pada 2017.
"Dengan Pertamina sebagai pengelola, 100 persen keuntungan dari blok tersebut akan jatuh ke Indonesia tanpa harus dibagi dengan perusahaan lain," kata Kurtubi dalam Diskusi Panel Ahli Ikatan Sarjana Nu (ISNU) bertema "Roadmap Kebijakan Energi Yang Tepat dan Berani", di Jakarta, Jumat.
Saat ini, pemerintah hanya mendapat sekitar 80 persen dari produksi gas di Blok Mahakam sedangkan sisanya jatuh ke Total E&P Indonesie. Akan tersebut masih harus dikurangi dengan 'cost recovery' sehingga menurut Kurtubi, Indonesia hanya memperoleh sekitar 40 persen.
Kurtubi yakin Pertamina mampu mengelola blok tersebut dengan baik, apalagi ditambah fakta bahwa segala bentuk alat produksi fisik yang digunakan oleh Total akan dikembalikan pada negara.
Di sisi lain, Kurtubi menegaskan jika pemerintah memutuskan untuk memperpanjang kontrak Total dan menganggap Pertamina tidak mampu mengelola blok Mahakam, maka pemerintah harus menjelaskan kepada publik secara transparan argumentasi yang digunakan. "Potensi gas bumi di blok Mahakam terlalu besar untuk diserahkan kepada perusahaan asing," kata dia.
Indonesian Resourses Studies memperkirakan cadangan yang tersisa di blok Mahakam sekitar 12,5 tcf dengan potensi pendapatan kotor sebesar 187 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1700 triliun.
Selain bisa memperoleh keuntungan penuh, Kurtubi menjelaskan bahwa pengelolaan blok Mahakam oleh perusahaan milik negara dapat mengamankan pasokan gas dalam negeri yang sering mengalami kekurangan karena sering terjadi penyelundupan gas ke luar negeri
"Potensi kerugian negara akibat penjualan gas ke luar negeri secara ilegal sangat besar, mencapai Rp30 triliun per tahun," kata dia.
Pasokan gas tersebut menurut Kurtubi dapat digunakan untuk mensuplai kebutuhan listrik, transportasi, dan industri. Harga gas yang murah juga dapat menekan biaya produksi listrik sehingga pemerintah tidak perlu menaikkan tarif.
"Saat ini, karena kekurangan pasokan gas, PT. Pembangkit Listrik Negara terpaksa menggunakan bahan bakar minyak yang mahal sehingga pemerintah terpaksa menaikkan tarif," kata dia.