EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) berencana menerbitkan delapan aturan baru untuk mengatur perbankan. Sejumlah aturan baru tersebut dinilai memperbesar risiko kepemilikan asing di industri perbankan.
Ketua Umum Perhimbunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas), Sigit Pramono menilai aturan mengenai kepemilikan tunggal atau Single Presence Policy (SPP) dapat berisiko kepemilikan asing di perbankan tanah air semakin besar.
Hal ini karena aturan itu membuka pilihan pembentukan perusahan induk (holding company) bagi investor yang ingin menjadi pemegang saham pengendali di lebih dari satu bank. "BI dan OJK harus berhati-hati dalam memberikan izin karena ada risiko kepemilikan asing semakin dominan," ujarnya di Jakarta, Senin (26/11).
Dalam aturan mengenai SPP, BI memberikan pilihan bagi pemegang saham pengendali di dua bank atau lebih untuk merger atau membentuk perusahaan induk. Pemegang saham tersebut dapat membentuk bank holding company yang membawahi beberapa bank. Selain itu, pemegang saham dapat membentuk financial holding company yang membawahi bank dan lembaga keuangan lain.
Selain dengan SPP, bank sentral juga akan menerbitkan aturan mengenai 'capital equivalence maintained assets' (CEMA) bagi bank asing yang belum berbadan hukum Indonesia atau berstatus kantor cabang bank asing (KCBA).
Sigit menilai aturan ini mengecewakan karena tidak ada kewajiban bagi KCBA untuk berbadan hukum Indonesia. Bank tersebut hanya diwajibkan menahan CEMA sebesar 8 persen dari total Dana Pihak Ketiga (DPK).
Aturan tersebut dinilai belum mengakomodasi asas resiprokal. Hal ini karena negara-negara satu kawasan sudah mewajibkan bank asing untuk berbadan hukum setempat. "Menurut saya, seharusnya aturan itu mengarah ke kewajiban badan hukum," ujarnya.
Bank sentral dinilai perlu tegas, namun tetap adil. Jika mewajibkan KCBA berbadan hukum Indonesia maka harus mberikan masa transisi yang cukup. "BI tidak perlu basa-basi yang penting adil. Konsep CEMA ini tidak terlalu tegas," ujarnya.