Selasa 04 Dec 2012 13:53 WIB

Defisit Neraca Perdagangan Oktober Masih Wajar

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Fitria Andayani
Hatta Radjasa
Foto: Antara
Hatta Radjasa

EKBIS.CO, JAKARTA -- Defisit neraca perdagangan Indonesia yang membengkak pada Oktober lalu dinilai tidak perlu dikhawatirkan. Defisit yang terjadi dinilai masih sangat wajar. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan, defisit neraca perdagangan Oktober silam lebih disebabkan tingginya impor pesawat terbang. Terdapat delapan pesawat baru dan bekas yang diimpor oleh maskapai domestik pada Oktober lalu.

"Hal ini tidak menjadi masalah mengingat tingkat mobilitas masyarakat yang semakin tinggi membutuhkan sarana pendukung yang lebih banyak," tutur Hatta, Selasa (4/12). Tambahan pesawat tersebut lanjutnya, dibutuhkan untuk meningkatkan konektivitas yang pada akhirnya berdampak positif kepada pertumbuhan ekonomi.

Defisit neraca perdagangan Oktober 2012 juga diakibatkan oleh penurunan ekspor komoditas, khususnya minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).  Terkait hal ini, Hatta membenarkan sulitnya kondisi yang dialami oleh penjualan barang-barang komoditas. Namun di sisi lain, Hatta menilai subtitusi impor sampai saat ini telah berjalan baik.  Ini ditandai dengan semakin meningkatnya impor barang modal dan menurunnya impor bahan baku.

"Ini mendorong industri berbahan baku naik," ujarnya. Memasuki dua bulan terakhir, Hatta mengharapkan agar defisit neraca perdagangan bisa tereduksi atau bahkan surplus.  Potensi surplus di akhir tahun, kata Hatta, dapat terwujud mengingat impor umumnya telah usai pada Oktober dan November.  

Seperti diketahui, neraca perdagangan pada Oktober 2012 berdasarkan survei BPS mencatat defisit 1,54 miliar dolar AS atau sekitar Rp. 14,7 triliun. Ekspor tercatat mencapai 15,67 miliar dolar AS atau sekitar Rp. 150,2 triliun. Sementara impor sebesar 17,21 miliar dolar AS atau sekitar Rp. 165 triliun. Defisit neraca perdagangan ini dianggap yang paling besar dalam sejarah

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement