EKBIS.CO, JAKARTA -- Penerapan sistem lindung nilai atau hedging terhadap minyak 2013, menurut Chief Economist the Indonesia Economic Intelligence (IEI), Sunarsip, tetap diperlukan.
Pemerintah butuh alat untuk memastikan seberapa tinggi dan seberapa besar risiko yang bisa ditanggung negara akibat fluktuasi harga minyak dunia.
"Jika Indonesia melakukan hedging minyak sejak 2008, setidaknya pemerintah akan untung 60-70 persen," kata Sunarsip dalam diskusi di Jakarta, Ahad (9/12). Hedging minyak diperlukan karena Indonesia merupakan negara net importir minyak. Setiap kenaikan satu dolar AS per barel dari harga minyak mentah Indonesia (ICP), maka menyebabkan defisit hingga Rp 500 miliar.
Hedging minyak, kata Sunarsip, bisa diperbaharui per tahunnya, bergantung kontrak. Dalam Undang-Undang APBN 2013, pemerintah sebetulnya sudah merencanakan hedging untuk utang.
Pada pasal 26 ayat 2, pemerintah bisa melaksanakan lindung nilai pada cicilan utang dan cicilan pokok. "Artinya, hedging itu sangat bisa dan sangat mungkin. Kuncinya cuma satu saja, tambahkan satu pasal tahun depan," kata Sunarsip.
Pilihan hedging lebih baik ketimbang memberlakukan kebijakan kenaikan harga BBM atau membatasi penggunaan BBM subsidi. Hedging perlu dilakukan oleh dua pihak, pemerintah dan Pertamina, bukan salah satunya.
Ada atau tidaknya kenaikan harga minyak mentah dunia, pengendalian BBM subsidi juga mutlak diperlukan. Namun, pemerintah terbiasa mengajukan usulan pengurangan subsidi BBM justru pada saat harga minyak dunia naik.
Volume belanja negara tahun depan mencapai Rp 1.683 triliun. Sebesar 36 persennya untuk belanja energi. Dari porsi belanja energi tersebut, sebanyak 42 persennya untuk subsidi BBM, LPG, dan BBN. Sedangkan 25 persennya untuk subsidi listrik.