EKBIS.CO, JAKARTA -- Neraca gas di Pulau Jawa diprediksi bakal terus negatif dari 2013 hingga 2020. Tidak sinkronnya pasokan dengan kebutuhan di lapangan menjadi penyebab.
Hal ini terungkap dalam Seminar Open Access Untuk Keberlangsungan Industri Nasional dan Daya Saing Produk dalam Negeri, Rabu (13/3). "Di 2013 misalnya, jika dilihat dari sentra industri besar, pasokan gas Jawa Barat dan Jawa Tengah terbilang minim," kata Direktur Utama PT Pertamina Gas Gunung Sardjono.
Dari total kebutuhan industri yang mencapai 2491 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd) pasokan yang bisa dipenuhi baru sebesar 1913 mmscfd. Hanya Jatim yang mampu dicukupi pasokannya sendiri, di mana pasokan mencapai 854 mmscfd sedangkan kebutuhan hanya sebesar 717 mmscfd.
Jabar dan Jateng masih akan kekurangan pasokan gas hingga 578 mmscfd. Di mana Jabar baru terpenuhi 1026 mmscfd, dari total kebutuhan 1704 mmscfd dan Jateng 33 mmscfd, dari total 71 mmscfd.
Ini juga terjadi di 2020. Dari total kebutuhan mencapai 3388 mmscfd, pasokan gas hanya mencapai 1680 mmscfd. Bakal terjadi kekurangan hingga 1708 mmscfd.
Jabar kekurangan gas sebesar 1673 mmscfd, dari kebutuhan sebesar 2300 mmscfd pasokan hanya sebesar 628 mmscfd. Sedangkan Jateng masih kekurangan gas sebesar 105 mmscfd, dari kebutuhan 271 mmscfd pasokan yang ada hanya 166 mmscfd.
Karenanya sebagai pelaku industri distribusi gas, pihaknya menginginkan komite gas yang dibuat. "Bukan cuma pemerintah, semua pihak seperti legislatif dan pelaku harus dilibatkan," jelasnya.
Pasalnya, gas bukan soal hilir tapi juga hulu. Sehingga amat kompleks bila hanya melihat satu sisi saja.
Tidak senadanya pemerintah juga menjadi kendala lain. Di mana, kebijakan satu kementerian bisa dipatahkan kementerian lain, seperti Kementerian Keuangan.
Minimnya gas ini juga diakui Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian Panggah Susanto. "Kontrak pengadaan gas masih di bawah kebutuhan serta volume kontrak," katanya.
Meski kebutuhan gas sebagai bahan baku saja mencapai 1022 mmscfd, volume kontrak bahkan masih sulit dipenuhi. Ini menjadi tantangan pertumbuhan industri non migas, yang diperkirakan akan naik 7,14 persen tahun ini.
Anggota Komisi VII DPR RI Bobby Rizaldi menilai kebijakan open access wajib dilakukan. Di mana persoalan pasokan dan pendistribusian gas harus dibuka untuk dikembangkan seluruh perusahaan di Tanah Air.
"DPR mendukung open acsess. Diharapkan pelaku usaha mau menambah infrastruktur pipa gas," jelasnya. Bila tidak, industri akan terus menderita karena harga yang tinggi.
Selama ini, beberapa BUMN masih menutup akses distribusi gas. Untuk PGN misalnya, Badan Pengatur Kegiatan Hilir Migas (BPH Migas) meminta perseroan itu membuka akses paling lambat Oktober 2013.
Dari data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) di 2025, kebutuhan gas Indonesia bakal meningkat 134 persen dibanding 2010. Dari posisi 2084 juta barel setara minyak (mboepd), kebutuhan gas akan mencapai 7134 mboepd.