Selasa 19 Mar 2013 16:05 WIB

OJK Segera Luncurkan Cetak Biru Literasi Keuangan

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Nidia Zuraya
Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad (kanan) menyerahkan surat pengangkatan kepada pegawai OJK di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (5/12).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad (kanan) menyerahkan surat pengangkatan kepada pegawai OJK di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (5/12).

EKBIS.CO, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera meluncurkan cetak biru (blue print) literasi keuangan (financial literacy) untuk menciptakan masyarakat konsumen keuangan yang teredukasi dengan baik. Direktur Fungsional Program Literasi Keuangan OJK, Agus Sugiarto, mengatakan cetak biru tersebut maksimal diluncurkan pada Juli 2013.

Literasi keuangan adalah strategi dan cara untuk mengubah masyarakat yang awalnya belum terliterasi dengan baik menjadi terliterasi baik. "Minimal masyarakat mengenali risiko sebuah produk jasa keuangan. Mereka bisa teliti sebelum membeli," kata Agus dalam Journalist Class di Jakarta, Selasa (19/3).

Literasi keuangan di Indonesia harus dibedakan dengan literasi keuangan di negara-negara lain. Agus mencontohkan, literasi keuangan dalam pemahaman negara-negara maju anggota Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) adalah orang yang sudah memiliki polis asuransi.

Di Australia, literasi keuangannya adalah orang yang sudah bisa menghitung komponen interest suku bunga. Sedangkan defenisi literasi keuangan di Indonesia minimal orang yang memiliki tabungan. Masyarakat di Indonesia pun dikelompokkan menjadi lima kelas berdasarkan segmen pengguna jasa keuangan, yaitu orang super kaya (Golongan A), orang kaya (B), orang menengah (C), orang menengah bawah (D), dan orang miskin (E).

Seluruh negara maju dan berkembang, hampir seluruhnya, sudah mempunyai cetak biru literasi keuangan. Di Asia khususnya Malaysia dan India. Literasi keuangan di Indonesia, kata Agus, setidaknya memiliki dua skema.

Pertama, membutuhkan strategi masif melalui edukasi. Dari sisi kelembagaan, jaringannya perlu diperluas sampai ke pelosok agar masyarakat mengakses produk keuangan berbiaya murah. Survei Asian Development Bank (ADB) pada 2010 menunjukkan waktu perjalanan (travelling time) yang dihabiskan masyarakat perkotaan ke kantor bank terdekat ternyata lebih singkat dibandingkan masyarakat perdesaan. Artinya, lembaga keuangan perlu merambah remote area.

Kedua, membutuhkan low cost financial product. Di sektor keuangan, BI sudah meluncurkan produk TabunganKu yang didesain tanpa biaya untuk memancing semangat masyarakat menabung. Cara membukanya sederhana, minimal Rp 20 ribu untuk bank konvensional, dan Rp 10 ribu untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Namun, pasar modal dan saham sudah menyasar golongan A, B, dan C. Namun, masih belum banyak yang menyasar masyarakat golongan D dan E.

Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement