Kamis 02 May 2013 13:02 WIB

Piutang Negara di BUMN Mencapai Rp 90 Triliun

Red: Nidia Zuraya
Kementerian Keuangan
Kementerian Keuangan

EKBIS.CO, KUTA -- Anggota Komisi XI DPR RI, I Gusti Agung Rai Wirajaya mengatakan piutang negara yang masih tercatat paling banyak ada di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencapai Rp 90 triliun lebih. "Dari jumlah tersebut yang sudah disetorkan ke panitia urusan piutang negara (PUPN) mencapai Rp20 triliun. Ini artinya masih cukup banyak piutang negara di badan usaha milik negara tersebut," kata Rai Wirajaya pada seminar yang bertema 'Dampak Keputusan MK tentang Hapus Tagih pada Bank Pemerintah' di Kuta, Bali, Kamis (2/5).

Ia mengatakan walau piutang tersebut bagian pemerintah yang sudah dipisahkan, namun dari kepemilikan aset masih dikuasai lebih banyak pemerintah itu sendiri. "Memang mengacu pada Undang Undang No 49 Prp Tahun 1960 sebagai landasan definisi piutang negara dan pengurusan piutang negara menghasilkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 77/PUU-IX/2011," katanya.

Sehingga amar putusan MK tersebut seolah-olah ditafsirkan bahwa piutang bank negara (BUMN) tidak tergolong dalam piutang negara, akan tetapi dalam amar putusan tersebut dapat ditafsirkan secara tegas bahwa pengurusan piutang bank negara bukanlah kewenangan PUPN.

Oleh karena itu, kata dia, memaknai putusan MK bahwa piutang negara hanyalah piutang pemerintah pusat atau pemerintah daerah saja, maka Bank BUMN dalam hal ini Bank Pembangunan Daerah yang terbentuk perseroan terbatas dan kekayaannya telah dipisahkan dari pemerintah daerah. "Dengan kondisi tersebut semestinya manajemen bank BUMD sudah bisa menyelesaikan piutangnya sendiri dengan tidak melimpahkan kepada PUPN," ucap anggota DPR dari Fraksi PDIP itu.

Dikatakannya putusan MK tersebut merupakan langkah strategis bagi bank BUMN/BUMD dalam hapus tagih. Namun dalam pelaksanaan hapus tagih piutang bank BUMN atas dasar putusan MK tersebut masih memerlukan kesepakatan dan pemahaman bersama serta standarisasi mekanisme hapus tagih agar tidak selang pendapat dari para pemangku kepentingan, khususnya dari aspek legalitas, pemerintahan dan bisnis yang akhirnya justru menjadi kontra produksi.

"Terhadap hal ini kami menyikapi secara hati-hati, mengingat aset bank negara merupakan kekayaan negara yang dipisahkan sehingga dapat dikelompokan sebagai piutang negara," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement