EKBIS.CO, JAKARTA -- Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Robert Pakpahan menjelaskan target rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto diperkirakan setara 23,2 persen. Angka itu menurun dibandingkan rasio per akhir 2012 silam sebesar 23,98 persen atau 24 persen.
"Dengan RAPBN (perubahan) yang baru, angkanya saya tidak persis ingat, Tetapi target debt to gdp ratio tetap akan turun di bawah 24 persen," ujar Robert kepada ROL saat ditemui di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Senin (20/5).
Robert menjelaskan, walaupun terdapat perubahan-perubahan pada utang pemerintah, akan tetapi nilai PDB juga meningkat seiring inflasi. Oleh karena itu, target rasio utang pemerintah terhadap GDP diyakininya dapat dicapai.
Lebih lanjut, Robert mengatakan, penambahan utang dilakukan mengingat perintah dalam UU APBN. Di dalamnya tergambar misalnya surat utang yang harus diterbitkan untuk pembiayaan dan lain-lain. "Intinya kita (DJPU) tinggal melakukan saja," katanya.
Sebagai gambaran, berdasarkan data Kementerian Keuangan, defisit anggaran dalam APBN 2013 direncanakan Rp 153,3 triliun atau 1,65 persen terhadap PDB. Pembiayaan anggaran direncanakan bersumber dari pembiayaan dalam negeri sebesar Rp 172,8 triliun dan pembiayaan luar negeri (neto) tetap dipertahankan negatif (negatif Rp 19,5 triliun).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, sampai dengan 28 Maret 2013 dari total defisit Rp 153,3 triliun, telah terpenuhi pembiayaan Rp 36,3 triliun atau 23,7 persen. Rinciannya realisasi pembiayaan dalam negeri Rp 42,4 triliun atau 24,6 persen dari pagu Rp 172,8 triliun. Sedangkan pembiayaan luar negeri (neto), realisasinya defisit 6,1 triliun atau 31,4 persen dari pagu Rp 19,5 triliun.
Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar berharap pembiayaan anggaran melalui utang tidak terlalu meningkat dengan adanya kenaikan defisit pada RAPBN Perubahan 2013 menjadi 2,48 persen dari sebelumnya 1,65 persen. Meskipun demikian, Mahendra menyebut penambahan utang tidak terelakkan mengingat itu merupakan biaya untuk defisit yang meningkat.
"Ini karena harga BBM yang meningkat. Tidak bisa tidak, harus ditutup sebagiannya oleh penambahan utang," ujar Mahendra.