EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian menyoroti ketergantungan industri dengan pihak lain dalam menyediakan barang modal. Hal ini menghambat dalam pengolahan bahan baku menjadi produk yang bernilai tambah.
Kondisi ini menjadi ironi mengingat besarnya potensi yang dimiliki antara lain untuk industri berbasis agro, migas dan bahan tambang mineral. Di sisi lain, Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan industri juga masih terbebani dengan biaya ekspor bahan mentah yang cukup besar.
Jika nilai tambah ditingkatkan, maka industri akan membuka lapangan kerja yang lebih luas. Beberapa komoditas yang disoroti antara lain minyat sawit, kakao, nikel, bijih besi, tembaga dan karet alam.
Komoditas bauksit misalnya, jika industri dalam negri mampu mengolahnya menjadi alumunium, maka nilai tambah diperkirakan mencapai 180 kali lipat. Lalu komoditas lainnya seperti nikel, jika industri bisa mengolahnya menjadi stainless steel, maka nilai tambah diperkirakan mencapai 150 kali lipat.
"Perlu ada hilirisasi industri. Kalau tidak dikendalikan, beberapa tahun ke depan bahan baku yang kita punya akan habis," kata MS HIdayat saat membuka Focus Group Discussion Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Bidakara, Rabu (19/6).
Hilirisasi industri yang diidamkan bisa dijemput dengan berbagai cara. Pertama, diperlukan akses infrastruktur yang lebih luas. Lalu pemerintah juga perlu membenahi efektifitas regulasi.
Kemudian diperlukan jaminan pasokan bahan baku dan sumber energi dengan harga yang kompetitif, sumber daya manusia yang andal dan penguasaan teknologi. Terakhir, akses untuk melakukan ekspor juga perlu diperluas.
Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto mengatakan tantangan terbesar ada pada penguasaan teknologi. Teknologi, menurut dia, harus dibeli dengan harga yang sangat mahal. "Kalaupun mampu membeli teknologi, kita masih harus menghadapi ketergantungan pada pihak luar," ujarnya dalam acara yang sama.
Selain itu, diperlukan penyesuaian sistem perpajakan dan sistem fiskal agar tercipta industri nasional yang tangguh. Pebisnis tidak bisa lagi bersikap "business as usual" dan distorsi kebijakan karena tarik-menarik kepentingan harus dihentikan.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian Sudirman M. Rusdi mengatakan industri juga masih terganjal kelemahan manajerial dan struktur pembiayaan yang mengandalkan pada utang.
"Dengan posisi ketergantungan yang sangat besar terhadap impor dan hutang luar negeri, maka ketika krisis terjadi, ekonomi Indonesia bisa menjadi ikut rentan," katanya.