EKBIS.CO, JAKARTA -- Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono menilai penurunan cadangan devisa menjadi 98,1 miliar dolar AS per akhir bulan lalu secara teknis dan ekonomis masih cukup aman. Sebab, besaran itu masih bisa dipakai untuk impor dan pembayaran utang setara empat sampai lima bulan.
"Lagi pula 98,1 miliar sangat dekat dengan 100 miliar dolar AS. Namun sekali lagi, ini adalah batas psikologis," ujar Tony kepada Republika, Senin (8/7).
Tony menjelaskan pasar uang, dalam hal ini investor, pemilik dana dan spekulan, akan nervous terhadap masa depan rupiah. "Dan bisa jadi beringas untuk memborong dolar AS lebih lanjut," ucapnya.
Di sisi lain, kepercayaan diri BI dapat melorot dan situasi dapat berkembang menjadi tidak terkontrol. Oleh karena itu, Tony menyarankan agar suku bunga acuan (BI rate) dinaikkan pada pekan ini. Kenaikan ideal sebesar 25 basis poin ke posisi 6,25 persen. "Tapi, jika situasi memang memaksa, naikkan 50 basis poin ke 6,50 persen," kata Tony.
Menaikkan BI rate, ujar Tony, jelas memakan biaya. Namun, hal tersebut bisa mengurangi tekanan terhadap cadangan devisa. "Pilihan yang sulit, namun harus ditempuh BI sebelum keadaan menjadi lebih sulit. Jika BI rate dinaikkan tinggi, misal sampai 75 sampai 100 basis poin, memang akan menimbulkan kesan BI panik. Ini bisa kontraproduktif," paparnya.
Cadangan devisa Indonesia pada akhir Juni 2013 tergerus menjadi 98,1 miliar dolar AS dari posisi akhir Mei yang mencapai 105,1 miliar dolar AS. Cadangan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan 5,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri. Tanpa pembayaran utang luar negeri, cadangan devisa dapat memenuhi kebutuhan 5,5 bulan impor.