EKBIS.CO, JAKARTA -- Anggota DPR RI Komisi Keuangan dan Perbankan, Arif Budimanta menilai keputusan Bank Indonesia yang kembali menaikan BI rate sebesar 50 basis point (bps), akan berdampak besar dan panjang bagi perekonomian nasional, khususnya berkaitan dengan investasi dan kegiatan di sektor riil.
''Harus dipahami dalam ekonomi ada yang disebut dengan asimetris, termasuk dalam hal turun naiknya suku bunga acuan. Jika BI menaikan suku bunga acuan (BI rate) maka seketika perbankan akan segera menaikkan suku bunga kreditnya,'' ujar Arif dalam siaran persnya kepada ROL, Kamis (11/7).
Namu, menurut dia, apabila kondisi telah stabil dan BI menurunkan kembali suku bunganya maka perbankan tidak akan langsung menurunkan suku bunga kreditnya. ''Ada proses wait and see yang cukup panjang sehingga akan merugikan perekonomian nasional khususnya sektor riil.''
Secara teori ekonomi, kata dia, jika BI rate naik dapat mendorong capital inflow sehingga diharapkan akan menguatkan nilai tukar rupiah.
Tetapi, Arif mengingatkan, dalam kondisi yang tidak menentu atau mengarah pada suasana krisis ekonomi, pasar dapat mengartikan naiknya BI rate sebagai meningkatnya risiko sehingga hasilnya akan kontra-produktif dengan tujuan menyetabilkan nilai tukar.
''Apabila alasannya untuk mengurangi dampak lonjakan inflasi akibat kenaikan harga BBM pemerintah dapat mengatasinya dengan serangkaian kebijakan fiskal seperti menaikan pajak pada barang-barang non-tradable dan sebagainya,'' tutur Arif memberi solusi.
''Jika menengok kembali kebijakan moneter ini untuk merespok kenaikan harga BBM maka betapa besarnya ongkos yang dikeluarkan demi “menghemat” subsidi energi tersebut, yang pada akhirnya mungkin jauh lebih besar dari pada jumlah subsidi yang dihemat,'' kata dia.