Jumat 02 Aug 2013 11:24 WIB

Indonesia Alami Empat Defisit Secara Bersamaan

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Nidia Zuraya
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ilustrasi).
Foto: www.arsipberita.com
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ilustrasi).

EKBIS.CO, JAKARTA -- Indonesia mengalami  empat jenis defisit dalam waktu bersamaan, yakni defisit neraca transaksi berjalan, defisit APBN, defisit neraca jasa dan neraca pembayaran, serta defisit perdagangan. Biang kerok dari defisit tersebut tidak lain karena kesalahan dalam mengatasi subsidi BBM yang terus membengkak.

Setelah harga BBM dinaikkan dengan  tujuan beban APBN berkurang, ternyata subsidi di dalam APBN Perubahan 2013 tidak lebih kecil dari APBN 2013 sebelum diubah. Kebijakan mengatasi masalah beban subsidi sudah terlambat. Keputusan mengurangi subsidi BBM dinilai terlalu lama yaitu dua tahun. "Keempat defisit ini akan menjadi 'warisan' bagi Presiden mendatang," kata Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Didik J Rachbini saat jumpa pers di Menara Kadin, Jakarta, Jumat (2/8).

Pada periode 1981 hingga 1996, ketika ekonomi Indonesia tumbuh dengan laju tinggi, Indonesia selalu mengalami defisit neraca tranksakisi. berjalan. Indonesia mengalami surplus neraca transaksi berjalan ketika ekonominya jatuh ke resesi yang dalam. Defisit neraca transaksi berjalan tidak selalu memberi sinyal bahwa ekonomi Indonesia memburuk.

Didik menyebut defisit transaksi berjalan tidak perllu dikhawatirkan apabila diimbangi oleh masuknya modal terutama investasi langsung. Selain defisit neraca transaksi berjalan, defisit primer APBN juga terjadi pada pemerintahaan saat ini. "Inilah defisit pertama kali sejak 1990," ujarnya. 

Didik mengatakan defisit terjadi juga dalam perdagangan dengan posisi Indonesia yang hancur lebur. Sebagai contoh, pada 2007 perdagangan dengan Jepang surplus 3,2 miliar dolar AS namun sekarang defisit hampir 11 dolar AS. Hal serupa terjadi pada perdagangan dengan Cina, dimana defisit saat ini bertambah besar menjadi 17 miliar dolar AS dari sebelumnya 1,8 miliar dolar AS pada 2007. Dia menyebut berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2013 yang diolah Kementerian Perindustrian, mayoritas produk neraca perdagangan produk industri Indonesia dengan mitra Free Trade Area (FTA).

Kebijakan ekonomi sebelum pemerintahan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyo adalah menginisiasi Central America Free Trade Agreement (CAFTA) yang dilanjutkan hingga pemerintahan sekarang. "Hasilnya adalah jebolnya benteng perdagangan luar negeri dengan defisit paling besar dalam sejarah dan sangat spektakuler," ucap Didik.

Hanya dengan satu negara besar, yakni Cina, defisit mencapai 17 miliar dolar AS. Selama hampir sepuluh tahun terakhir Indonesia dibanjiri produk-produk Cina. Yang terpukul dari hal ini adalah sektor industri dalam  negeri. Pasalnya industri yang semestinya dapat menyerap tenaga kerja, justru melempar tenaga kerja keluar sektor dan masuk ke dalam sektor informal yang tidak produktif.

Didik berujar perdagangan dalam kelompok industri yang surplus pada 28,3 miliar dolar  AS pada lima tahun mendatang, kini justru defisit 23,6 miliar dolar AS. "Sektor ini benar-benar hancur dan mengalami anomali yang tidak semestinya," kata dia.

Sebagai negara industri baru pada 1990an, harusnya peranan sektor industri semakin besar porsinya secara relatif dibandingkan dengan sektor lainnya. Indonesia, kata Didik, bukanlah Singapura yang bisa dengan mudah bergantung pada sektor jasa modern. Sektor industri yang meluas sangat diperlukan untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement