EKBIS.CO, JAKARTA -- Muhammadiyah menyatakan prihatin dengan permasalahan Blok Mahakam yang saat ini masih dikelola perusahaan asing, bukan oleh perusahaan lokal. "Saya cukup prihatin, tetapi akan lebih memprihatinkan apabila kontrak asing ini masih ingin diperpanjang oleh Pemerintah. Terlebih, kepada mereka yang berupaya menolak dan menghalangi masyarakat yang ingin memperjuangkan," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin di Jakarta, Jumat (2/8).
Hal tersebut disampaikan saat dirinya menerima pengurus Aliansi Blok Mahakam Rakyat Kalimantan Timur yang berkunjung ke Kantor Muhammadiyah. Menurutnya, kalau memang sudah selesai kontrak kerja sama yang dijalin dengan asing, dikembalikan ke Indonesia dahulu sebelum terlanjur untuk dikuasai oleh asing lebih lanjut.
Direktur Pusat Kajian Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman, Aji Sofyan, mengatakan bahwa dirinya datang ke Muhammadiyah karena di media sudah tidak ada lagi tempat untuk membahas masalah itu secara mendalam. Menurut Aji, akan sangat menarik apabila ada media khusus yang bisa menyorot permasalahan tersebut sehingga hal itu dapat dibahas secara mendalam.
"Misalnya saja di salah satu televisi swasta, permasalahan ini bisa dibahas secara bersama-sama. Kalau dibawa ke dalam diskusi yang lebih besar, kemungkinan akan lebih mendapatkan hasil," paparnya.
Perusahaan minyak dan gas bumi (migas) milik Prancis bernama Total E&P Indonesie yang didirikan di Jakarta pada tanggal 14 Agustus 1968 sudah menjadi operator untuk Blok Mahakam di Kalimantan Timur sejak 31 Maret 1967. Berbekal dua kali teken kontrak dengan pemerintah Indonesia, perusahaan itu beroperasi yang pertama selama 30 tahun pada tahun 1967 sampai 1997, dan yang kedua selama 20 tahun dari 1997 hingga 2017.
Menurut Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM) perusahaan migas asing itu telah menguras cadangan migas di wilayah Indonesia selama 40 tahun, mulai dari 1980 sampai 2000, yang dilakukan secara besar-besaran setelah mulai diproduksinya lapangan Bekapai pada 1974, hanya memberikan penerimaan negara Rp 750 triliun.