EKBIS.CO, JAKARTA -- Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) terus memantau produksi beras nasional. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk angka ramalan 1, produksi beras naik tipis sekitar 0,31 persen. "Melihat angka ramalan tersebut, sebenarnya sudah gawat," ujar Direktur Utama Perum Bulog Soetarto Alimoeso, Selasa (6/8).
Dalam mengelola beras, Bulog berpegang pada tiga hal, yaitu produksi, harga dan ketersediaan cadangan di gudang. Saat ini cadangan beras yang ada hanya beras milik Bulog karena produksi menurun. Stok milik Bulog akan dikeluarkan untuk mengisi kekurangan supply agar harga beras di pasaran tidak naik.
Sutarto juga tidak menampik kemungkinan akan ada impor beras. Berdasarkan perhitungan Bulog, pada akhir tahun angka produksi maksimal hanya 600 ribu ton. Saat ini stok yang ada sebesar 2 juta ton dikurangi beras yang disalurkan untuk raskin sebanyak 698.890 ton. Raskin antara lain disalurkan pada saat pemerintah mengumumkan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM).
Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Udhoro Kasih Anggoro mengatakan peningkatan produksi tanaman padi bergantung pada produktifitas lahan. Areal tanam padi saat ini sebanyak 14 juta hektare (ha). Dalam cuaca bagus, satu ha lahan menghasilkan rata-rata 7 ton gabah kering.
Namun disamping luas lahan, petani membutuhkan bantuan finansial untuk melakukan produksi. Saat ini menurut dia, petani cenderung menanggung biaya produksi sendirian. Satu ha lahan membutuhan biaya produksi sekitar Rp 7 juta hingga Rp 8 juta. "Sementara kemampuan petani di Indonesia hanya Rp 3-4 juta per ha," ujarnya.
Selain itu pemerintah perlu membenahi saluran irigasi yang sudah tidak layak. Anggoro memperkirakan ada 2,4 juta ha lahan pertanian yang fasilitas irigasinya harus segera diperbaiki. Perbaikan ini setidaknya membutuhkan biaya sekitar Rp 21 triliun. Apabila 2.4 juta ha lahan ini diperbaiki, produksi Gabah Kering Giling (GKG) bisa bertambah sekitar 7-8 juta ton. "Dengan tambahan ini, kita bisa surplus cukup banyak, tidak perlu impor," katanya.
Anggoro berharap ada fasilitas kredit yang bisa dimanfaatkan petani untuk membantu biaya produksi. Anggaran perbaikan irigasi menurutnya tidak dalam kewenangan Kementan, melainkan Kementerian Pekerjaan Umum (PU).
Dirjen Prasaranan dan Sarana Pertanian Kementan Gatot Irianto membenarkan hal ini. Ia mengatakan setiap tahun pemerintah menganggarkan sekitar Rp 6 triliun untuk infrastruktur pedesaan termasuk perbaikan iriagasi dan embung. Apabila program ini berjalan dengan baik, irigasi yang rusak bisa kembali berfungsi dalam waktu 3 hingga 4 tahun saja.