EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Dahnil Anzar Simanjuntak mengingatkan, tekanan cash outflow akibat impor yang tinggi akan mengancam ekonomi Indonesia dalam jangka pendek dan panjang.
"Kebijakan moneter yang dilakukan BI melalui penaikan suku bunga ajuan hingga 7 persen, tidak cukup meredam ancaman risiko krisis yang bisa Indonesia alami," ujar Dahnil kepada ROL, Jumat (6/9).
Berdasarkan survei yang dimuat The Economist, Indonesia, Chili, serta India kita adalah negara emerging market rentan berpotensi krisis, akibat tekanan neraca pembayaran yang negatif.
"Berbeda dengan Malaysia dan Filipina yang pada krisis tahun 1997 menjadi korban utama bersama Indonesia, tetapi saat ini tingkat kerentanan mereka lebih rendah dibandingkan Indonesia, yang memiliki tingkat kerentanan yang tinggi karena lemahnya kinerja ekspor," papar Dahnil.
Ia mengusulkan agar dalam kondisi ekonomi seperti saat ini tidak cukup sekadar ditangani dengan kebijakan bubble berupa kebijakan moneter sebagai penyembuhan jangka pendek, tetapi yang lebih krusial adalah penguatan kebijakan ekonomi domestik yang mampu mencegah cash outflow.
"Secara operasionalistik revitalisasi kebijakan substitusi import harus dipaksakan, contoh dalam jangka pendek tidak masalah kedelai mahal karena supply kurang, pemerintah dorong pertanian kedelai dalam negeri untuk mencegah impor," tuturnya.
Demikian pula, kata Dahnil, dengan komoditas lainnya, dibutuhkan pengorbanan dari semua komponen masyarakat untuk melakukan substitusi konsumsi juga untuk memperkuat ekonomi domestik mencegah impor yang tinggi.