Jumat 20 Sep 2013 12:45 WIB

Mobil Murah Laris Manis, Impor BBM Makin Sulit Dikendalikan

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Nidia Zuraya
 Sejumlah kendaraan antre mengisi bahan bakar jenis pertamax akibat habisnya BBM bersubsidi di salah satu SPBU di jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, Senin (26/11). (Republika/Agung Fatma Putra)
Sejumlah kendaraan antre mengisi bahan bakar jenis pertamax akibat habisnya BBM bersubsidi di salah satu SPBU di jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, Senin (26/11). (Republika/Agung Fatma Putra)

EKBIS.CO, NUSA DUA -- PT Pertamina (Persero) menilai keberadaan mobil murah dan ramah lingkungan (low cost green car/LCGC) akan meningkatkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Semakin tinggi tingkat penjualan LCGC, sudah barang tentu akan berimbas pada peningkatan konsumsi BBM. Ujung-ujungnya, impor BBM oleh Pertamina akan mengalami peningkatan.

Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro menjelaskan pada dasarnya besar kecilnya impor BBM bergantung kepada demand (permintaan) dari mobil. Menurutnya, akan sulit untuk mengendalikan impor BBM jika produksi mobil akibat tingginya permintaan tidak terkendali. "Jadi ini kan konsumsi versus produksi. Kalau konsumsi jauh di atas produksi ya pasti impor," ujar Bambang kepada wartawan saat ditemui di sela-sela pertemuan APEC Finance Ministers' Meeting and Related Meetings di Nusa Dua, Bali, Kamis (19/9) malam. 

Dalam kesempatan yang sama, Bambang juga menyinggung keberadaan mobil LCGC terhadap kuota volume BBM. Untuk tahun ini, diperkirakan kuota volume berada di kisaran 48 juta kiloliter. Meskipun demikian, Bambang menyebut alokasi belanjanya akan melebihi pagu yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2013 yakni Rp 199,85 triliun. 

Per 30 Agustus silam, realisasi subsidi BBM telah menyentuh 66,3 persen pagu atau Rp 132,4 triliun.Bambang memaparkan, salah satu jebolnya belanja subsidi BBM disebabkan oleh pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Realisasi subsidi BBM sampai akhir tahun akan sangat bergantung pada menguat atau tidaknya rupiah. "Kita belum tahu kan pergerakan kurs-nya sampai akhir tahun," kata Bambang. 

Selama ini, menurut Bambang, BKF masih menggunakan Rp 10.200 sebagai asumsi dasar ekonomi makro APBNP 2013. Walaupun begitu, jebolnya subsidi BBM yang dikompilasi dengan kemungkinan penerimaan pajak dan belanja pemerintah yang tidak 100 persen, akan membuat defisit anggaran akan tetap berada di kisaran 2,38 persen. "Yang penting kan kita ujungnya defisit. Supaya pembiayaan gak nambah, supaya beban gak berat," ujar Bambang. 

Sebagai gambaran, dalam APBNP 2012 silam, defisit anggaran berada pada posisi Rp 153,3 triliun atau 1,86 persen terhadap PDB. Sementara untuk APBN 2014, pemerintah memproyeksikan defisit anggaran Rp 154,2 triliun atau 1,49 persen terhadap PDB.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement