EKBIS.CO, KUDUS--Audit pendahuluan yang dilakukan BPK menemukan bahwa kebutuhan industri makanan dan minuman terhadap gula rafinasi tidak sebesar kuota yang diberikan pemerintah yakni 2,265 juta ton.
"Akibatnya, potensi perembesan gula rafinasi hingga ke pasar sangat besar," ujar anggota BPK RI, Ali Masykur Musa di sela-sela dialog dengan petani tebu di aula Pabrik Gula Rendeng Kudus dalam rangka supervisi sektor pangan di Jateng, di Kudus, Senin (23/9).
Perembesan gula rafinasi di pasar, imbuhnya, membuat nasib petan kian terpuruk, mengingat harga gula impor tersebut lebih murah dibanding produk gula pasir lokal.
Para petani, kata dia, terpaksa harus menanggung biaya produksi yang cukup tinggi dan tidak sebanding dengan harga jual gula petani.
Apabila kondisi tersebut dibiarkan, kata dia, ketahanan pangan terancam karena petani akan meninggalkan ladang-ladang produksi pangan dan beralih menjadi buruh pabrik atau pedagang pangan yang membuat program swasembada pangan nasional semakin jauh dari kenyataan.
Ia menganggap, pemerintah terlalu longgar memberikan izin impor gula mentah dan izin pendirian pabrik gula rafinasi. Kondisi itu membuat impor gula terus meningkat dan jumlah pabrik gula rafinasi terus bertambah dari semula satu kini mencapai 11 pabrik.
Padahal, lanjut dia, kebijakan tersebut telah menjadi disinsentif untuk para petani, sehingga dalam jangka panjang mereka akan enggan menanam tebu dan pasar gula nasional akan semakin dibanjiri gula impor.
Untuk melindungi petani tebu, kata dia, pemerintah perlu menerapkan kebijakan tarif impor guna meminimalkan marjin harga gula internasional dan domestik, serta mempercepat proses peningkatan produksi gula dalam negeri lewat penyediaan kredit, benih, pupuk murah, proses produksi dan pascaproduksi.
"Tanpa kebijakan propetani, program swasembada pangan nasional sulit terwujud dan akan semakin tergantung pada impor," ujarnya. Negara liberal sekelas Amerika Serikat, imbuhnya, juga memproteksi petani dan sektor pertanian mereka dengan berbagai subsidi dan insentif.