EKBIS.CO, JAKARTA -- Berbagai kebijakan pertanian dinilai hanya berpihak pada pihak yang kuat, termasuk perusahaan besar dan negara maju. Sementara keluhan petani misalnya mengenai kekurangan lahan ditanggapi setengah hati. Program retribusi tanah pun menjadi tersendat. Dampaknya, luasan lahan pertanian semakin sempit saja. "Di sisi lain, begitu mudahnya perusahaan besar diberikan izin untuk menggarap lahan," ujar Anggota Kelompok Kerja Khusus Dewan Ketahanan Pangan, Gunawan, Kamis (10/10).
Sebagai negara agraris, seharusnya upaya untuk memenuhi penangan nasional disandarkan pada petani, nelayan dan masyarakat adat. Untuk itu kelompok ini harus didukung dengan fasilitas yang memadai. Apabila hal ini dijalankan dengan benar, maka keamanan pangan akan terjaga. Kenyataannya, jumlah petani terus menyusut seiring dengan semakin terbatasnya lahan. Sementara di sisi lainnya, jumlah perusahaan perkebunan dan pertambangan semakin banyak dari tahun ke tahun.
Hasil Sensus Pertanian 2013 oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa terdapat penyusutan 5,04 juta keluarga tani di negara ini. Tahun 2003, jumlah keluarga tani mencapai 31,17 juta keluarga. Kini jumlahnya hanya 26,13 juta keluarga tani.
Selain sumber daya dan lahan, sektor pertanian negara ini juga terkendala mandeknya teknologi. Hingga kini pemerintah belum menyediakan dukungan yang cukup untuk petani produsen. Akibatnya, petani tidak bisa menghasilkan nilai tambah. Padahal apabila petani dapat membuat mie dari singkong misalnya, maka kesejahteraannya bisa naik.
Contohnya apa yang terjadi pada gandum. Selama ini Indonesia mengimpor terigu skala besar sebagai bahan gandum. Padahal masih banyak bahan baku lain yang bisa dgunakan sebagai tepung pengganti terigu. "Apabila dukungan tekbologi tidak dikembangkan, kredit tidak cukup disediakan, jangan heran kalau kita tak kunjung mandiri," katanya ketika dihubungi Republika.
Gunawan melihat bahwa Indonesia kini justru terjebak pada skema internasional terkait liberalisasi sumber agraria dan pangan. Untuk itu solusi pembenahan sektor pertanian harus dicari dengan mengacu pada beragam peraturan yang sudah ada.
Namun lagi-lagi pemerintah menghadapi kendala karena tidak adanya kejelasan mengenai siapa yang bertanggung jawab mengurusi pangan. Contohnya saja apa yang dicantumkan pada Undang-Undang Pangan yang baru. Terdapat pasal tentang pengaturan impor, dimana disebutkan bahwa Menteri bertanggung jawab terhadap kecukupuan produksi dalam negri dan cadangan masyarakat. "Tapi menteri apa, siapa, tidak ditentukan. Imbasnya sering berbenturan antara menteri yang satu dan lain, antara perdagangan dan pertanian, pertanian dan kehutanan. Dan perkara apakah kita butuh impor atau tidak, tidak pernah mendapat jawaban yang jelas," katanya.