Rabu 06 Nov 2013 15:53 WIB

Neraca Perdagangan Sektor Industri Memburuk

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Nidia Zuraya
Ekspor-impor (ilustrasi)
Ekspor-impor (ilustrasi)

EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah dinilai belum memiliki acuan arah pembangunan ekonomi. Kelemahan ini menjadi salah satu penyebab memburuknya neraca perdagangan di sektor industri. "Seharusnya industri bisa fokus pada produk dimana kita berdaya saing tinggi, yang kita lemah tinggalkan saja," ujar pendiri Indef, Didiek Rachbini dalam diskusi 'Tantangan Industrialisasi di Tengah Pusaran Liberalisasi Perdagangan' di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (6/11).

Idealnya apabila perekonomian tumbuh sebanyak 6 persen, seharusnya angka pertumbuhan industri bisa mencapai 12-14 persen. Namun hingga saat ini tercatat pertumbuhan industri hanya sekitar 2-3 persen per tahun. Hingga Januari sampai dengan September 2013, ekspor Indonesia masih didominasi oleh barang mentah yang bernilai tambah rendah seperti migas (17,79 persen) dan hasil mineral (13,89 persen). Padahal Indonesia mempunyai industri kuat yang berbasis sumber daya alam seperti kelapa sawit, karet dan batubara. Komoditas inilah yang harus digenjot ekspornya agar pertumbuhan industri bisa naik. 

Selain itu, terjadi peningkatan tren impor bahan baku dan bahan penolong dari tahun ke tahun. Volume impor bahan baku dan bahan penolong mneingkat hampir 5 kali lipat pada 2012 dibanding 1995, atau dari 29 miliar dolar AS menjadi 140,13 miliar dolar AS. Hal ini terjadi karena maraknya ekspor bahan mentah yang bernilai tambah rendah, sehingga industri dalam negeri kekurangan bahan baku. Industri domestik akhirnya justru memproduksi komoditas yang berbahan baku impor. "Sehingga berakibat pada daya saing rendah dan rentan terhadap fluktuasi nilai tukar," ujarnya.

Menipisnya surplus neraca perdagangan Indonesia terlihat sejak Indonesia gencar melakukan kesepakatan kerjasama ekonomi internasional maupun Free Trade Area (FTA), baik secara regional, bilateral dan multirateral. Ketika kran perdagangan bebas terbuka,  tren impor Indonesia juga tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor karena berbagai FTA tersebut. 

Satu persatu neraca perdagangan Indonesia dengan negara mitra dagang utama pun mengalami defisit. Hingga 2012, tercatata sedikitnya Indonesia telah terlibat dalam 6 skema FTA, yakni AFTA, AC-FTA, ASEAN-Kore FTA (AK-FTA), ASEAN-India FTA (AI-FTA), ASEAN-Australia-New Zealand FTA (AANZ-FTA) dan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA).

Pemerintah dianjurkan agar  segera melakukan redisain kebijakan industri nasional. Caranya dengan mempercepat hilirisasi industri serta mendorong industri subsitusi impor dan orientasi ekpsor. Pemerintah juga harus mampu mengendalikan impor yang juga mengakibatkan tekanan secara terus-menerus terhadap nilai tukar.

Dirjen Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian Agus Cahyana melihat perlu ada kebijakan nasional yang bisa menangkal dampak liberalisasi perdagangan di masa depan. Apalagi daya saing Indonesia masih rendah, termasuk juga daya saing infrastruktur. "Kita harus tau mau mendapatkan keuntungan apa ketika mengikuti arus liberalisasi perdagangan," katanya.

Pemerintah pun diimbau untuk tidak ragu menaikkan bea masuk yang dinilai rendah. Dibandingkan negara lain, rata-rata bea masuk ke Indonesia hanya sekitar 7 persen. Sedangkan Cina (10 persen), India 13 persen, Korea (13 persen).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement