EKBIS.CO, JAKARTA -- Jaringan aktivis pro demokrasi (Prodem) minta kepada pemerintah agar menolak divestasi Nippon Asahan Alumunium (NAA) sebesar 58,87 persen dan pembayaran kompensasinya sebesar 558 juta dolar AS (sekitar Rp 6,7 Triliun) kepada NAA. Alasannya, menurut ketua majelis Prodem Ruswandi, karena kontraknya selama 30 tahun sudah berakhir 31 Oktober 2013.
"Ibarat orang sewa tanah di Asahan, kemudian tanah itu dibangun infrastruktur dan berbagai usaha, maka setelah kontrak berakhir dan tidak diperpanjang lagi. Mengapa pemilik tanah harus membayar kompensasi kepada penyewa. Ini tidak benar. Pemerintah jangan mau diminta bayar kompensasi kepada NAA," papar Ruswandi di Jakarta, Rabu (13/11).
Jika penyewa tanah (NAA, red) telah membangun infrastruktur ekonomi seperti jalan, listrik dan lain sebagainya, namun menurut Ruswandi, NAA juga telah menikmati hasil keuntungan dari berbagai usaha dari sewa tanah tersebut. Pemilik tanah (Pemerintah RI, red) tidak perlu lagi membayarkan kompensasi atas investasi yang dilakukan penyewa tanah.
Walau kontrak sudah berakhir dan NAA sudah eksploitasi sumber daya alam di Asahan selama 30 tahun, namun pemerintah sepakat membayar dana kompensasi sebesar 558 juta dolar AS. Inilah yang ditentang Prodem. "Jadi itu hanya akal-akalan pemerintah jika bersedia membayar kompensasi kepada NAA atau Jepang. Jika kontrak NAA telah berakhir di Asahan, ya sudah, pemerintah Indonesia tidak harus membayar kompensasi hingga Rp 6,7 triliun. Jangan sampai dana kompensasi jadi dana kampanye politik menjelang Pemilu," ujar Ruswandi.
Prodem juga meminta pemerintah agar tidak takut dengan ancaman NAA membawa pengalihan eksploitasi dan produksi alumunium di Asahan ke pengadilan Arbitrase internasional. "Hadapi saja di pengadilan Arbitrase, tapi kami yakin itu hanya gertak sambal dari NAA agar pemerintah mau membayar kompensasi," tegas aktivis Prodem itu.
Apalagi selama kontrak kerja sama, pihak Jepang selalu melaporkan merugi. Secara tiba-tiba melaporkan keuntungan setelah wakil presiden Jusuf Kalla kepada PM Jepang Junichiro Koizumi tahun 2006 untuk memprotes hasil kerjasama Indonesia-Jepang di Asahan yang dilaporkan selalu merugi tiap tahun sejak eksploitasi itu dilakukan tahun 1982.
Menurut Ruswandi, produksi alumunium di bukit Asahan, Sumatra Utara, sangat menguntungkan pihak Indonesia karena kandungan alumunium untuk produksi setiap satu motor dan mobil sangat tinggi. "Pemerintah Indonesia harus mengambil alih PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) tanpa harus membayar kompensasi kepada NAA atau Jepang," ujarnya
Lebih lanjut dia menuturkan, jika pemerintah membayar kompensasi maka akan membuat PMA (penanaman modal asing) lainnya yang investasi di Indonesia menuntut hal yang sama. "Setelah kontraknya berakhir, perusahaan asing minta dibayarkan kompensasi atau divestasi saham, padahal mereka sudah mengeruk begitu banyak keuntungan," tambahnya.