EKBIS.CO, NUSA DUA -- Negosiasi panjang Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization ke-9 berhasil membuahkan Paket Bali yang berisikan tiga poin utama yaitu Trade Facilitation, Agriculture, dan Least Developed Countries.
"Setelah melakukan negosiasi yang cukup panjang, kami para menteri dari WTO menyetujui untuk memberikan fleksibilitas bagi negara berkembang untuk menerapkan program ketahanan pangan," kata Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, saat menyampaikan pidato penutupan KTM WTO ke-9 di Nusa Dua Bali, Sabtu.
Gita mengatakan, pada akhirnya kami menyetujui adanya perubahan dalam kesepakatan WTO pada Paket Agriculture, yang sudah kita sepakati di Bali.
"Terkait dengan Trade Facilitation, yang merupakan kali pertama dinegosiasikan, akan mampu mengurangi biaya perdagangan, dan menyediakan kepastian bisnis," kata Gita.
Selain itu, lanjut Gita, hal tersebut juga akan bermanfaat untuk anggota WTO lainnya termasuk negara berkembang yang memberikan akses bantuan dan akan meningkatkan sistem dan prosedur perdagangan negara-negara tersebut.
"Yang paling menguntungkan adalah untuk negara berkembang dan juga LDCs yang mendapatkan manfaat untuk membuat akses bebas dari barang dan jasa untuk meningkatkan perdagangannya," kata Gita.
Berbeda dengan Doha Development Agenda (DDA) yang memiliki ambisi untuk menyelesaikan sebanyak 19 poin isu runding, Paket Bali hanya memiliki tiga isu runding yang menekankan pada Trade Facilitation (TF), Agriculture, dan Least Developed Countries (LDCs).
Perjuangan untuk membuahkan Paket Bali sempat terhalang oleh sikap India yang tidak setuju dan bersikeras bahwa solusi interim bukan merupakan langkah yang tepat karena terkait dengan permasalahan yang fundamental yakni stok keamanan pangan.
Dalam negosiasi terkait solusi interim tersebut, negara maju seperti Amerika Serikat sesungguhnya telah menyetujui usulan negara berkembang untuk memberikan subsidi lebih dari 10 persen dari output nasional, namun memberikan jangka waktu terhadap.
Jangka waktu yang diberikan selama 4 tahun tersebut tidak diterima oleh India yang menginginkan adanya solusi permanen dan juga adanya penyesuaian harga dengan tidak lagi menggunakan acuan harga dari tahun 1986-1988.
Selama ini, pengaturan besaran harga acuan pokok produk pertanian diambil dari mekanisme Agreement on Agriculture (AoA) tahun 1994 di Uruguay tentang mekanisme pemberian subsidi pertanian bagi negara maju dan berkembang.
India pada akhirnya menyetujui Paket Bali yang menyebutkan bahwa anggota WTO menyetujui penempatan mekanisme interim untuk melakukan negosiasi untuk menghasilkan solusi permanen yang akan diadopsi dalam KTM WTO ke-11 atau selama empat tahun.
Selama masa interim tersebut, setiap anggota yang tergabung dalam WTO harus menahan diri untuk tidak membawa aduan dalam penyelesaian sengketa WTO.
Setelah India melunak, empat negara sempat menolak Draf Paket Bali tersebut.
"Negara dari Afrika, Arab, Asia, grup negara Pacific, dan Least Development Countries mendorong paket tersebut, sementara Kuba, Bolivia, Venezuela dan Nikaragua menolak draf paket tersebut," kata Juru Bicara WTO Keith Rockwell kepada para wartawan, di Nusa Dua, Bali, Sabtu pukul 03.00 dini hari.
Rockwell mengatakan, salah satu yang menjadi masalah penolakan ke empat negara atas Draf Paket Bali tersebut adalah masalah embargo yang tidak kunjung ditindaklanjuti WTO sejak pertemuan Hongkong tahun 2005.
KTM WTO ke-9, sesungguhnya sudah diakhiri pada Jumat (6/12) kemarin, namun, dikarenakan perundingan yang masih alot, negosiasi dilanjutkan hingga Sabtu (7/12) yang pada akhirnya berhasil mencatatkan sejarah baru dari perundingan WTO setelah terhenti selama 12 tahun untuk menyelesaikan Putaran Doha.