EKBIS.CO, DEPOK -- Ketua Pusat Stusi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Deendarlianto mengatakan, Indonesia masih miskin infrastruktur gas. Terbukti dari hasil pengukuran indeks infrastruktur gas Indonesia yang dilakukan Pusat Studi Energi UGM. Indeks panjang jaringan gas bumi di Indonesia hanya sebesar 6,4 km/m2. Indeks infrastruktur ini merupakan perbandingan antara panjang pipa dengan luas area.
“Dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia masih tertinggal jauh. Kita hanya memiliki sekitar 6,4 km per m2 pipa gas, sedangkan Thailand indeks infrastrukturnya mencapai 11 km per m2 dan Malaysia sebesar 19 km per m2,” kata Deendarlianto dalam Seminar Nasional bertema 'Quo Vadis Tata Kelola Gas Bumi di Indonesia', di Kampus UI Salemba, Jakarta, Selasa (25/2) kemarin.
Indonesia, kata Deen, masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk merealisasikan pembangunan infrastruktur gas bumi dalam rangka memperluas dan meningkatkan pemanfaatan gas bumi domestik.
“Saat ini Indonesia hanya memiliki sekitar 12 ribu km pipa gas atau baru 20 persen dari seluruh panjang pipa yang direncanakan dalam Rencana Induk”, kata Jobi Triananda, Direktur Pengusahaan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN), salah satu narasumber dalam acara tersebut.
Jobi menyampaikan salah satu penyebab terhentinya pengembangan infrastruktur gas adalah aturan tata kelola gas bumi yang menimbulkan tidak sinkronnya pasokan, infrastruktur dan pasar. “Pasokan Gas Bumi dialokasikan kepada pihak yang tidak memiliki infrastruktur, sehingga pengembangan ke area baru menjadi terhambat” kata Jobi.
Lambatnya pengembangan infrastruktur gas inilah yang kemudian memicu ekspor gas karena produksi gas bumi tidak dapat menunggu, harus dialirkan segera setelah proses produksi berjalan.
Deendarlianto menambahkan, berdasarkan analisis 40 disertasi doktoral yang diterbitkan di jurnal internasional, 'open access' dan 'unbundling' pada pipa gas justru akan mendongkrak harga jual ke konsumen.
"Berdasarkan hasil analisis historis di negara-negara Eropa, ternyata terdapat korelasi positif antara penerapan 'open access' dan 'unbundling' pada kenaikan harga gas,” kata Deendarlianto dalam Seminar Nasional bertema 'Quo Vadis Tata Kelola Gas Bumi di Indonesia', di Kampus UI Salemba, Jakarta, Selasa (25/2) kemarin.
Selain itu, Deendarlianto berkata 'open access' dan 'unbundling' juga memicu fluktuasi dan ketidakstabilan harga jual gas. “Pada negara yang menerapkan open access dan unbundling, kenaikan harga jual gas ditentukan oleh mekanisme pasar, sehingga menyebabkan fluktuasi yang memicu ketidakstabilan harga,” kata Deen.
Ia berkata, kondisi fluktuasi ini semakin parah manakala dipicu kondisi abnormal seperti musim dingin yang ekstrem, serangan teroris dan lainnya. “Fakta yang ditemukan, pada tanggal 1 Januari 2014, Amerika Serikat mengalami musim dingin yang ekstrem dan membuat harga gas melonjak drastis,” ucap dia.
Kondisi terbalik terjadi pada negara–negara yang tidak menerapkan 'open access' dan 'unbundling', seperti Rusia dan Thailand, ternyata harga gas justru jauh lebih murah dibandingkan negara yang menerapkan 'open access' dan 'unbundling'.