EKBIS.CO, JAKARTA -- Indonesian Resources Mineral (IRESS) melaporkan hasil kajian terhadap Manfaat Ekonomi Kebijakan Hilirisasi Mineral serta Dampak Yang Ditimbulkan dari Kebijakan Larangan Ekspor Bijih Mineral terhadap Kemakmuran Rakyat, Senin.
Pemerintah Indonesia dalam rentang waktu 2017-2023 diproyeksikan mengalami peningkatan perolehan nilai tambah mineral dari kebijakan hilirisasi sekitar 268 miliar dolar AS. Perkiraan ini di antaranya diperoleh dari nilai tambah tahunan komoditas bauksit sekitar 18 miliar dolar AS, tembaga sebesar 13,2 miliar dolar AS, dan nikel 9 miliar dolar AS.
"Kebijakan mineral akan mendorong tumbuhnya investasi pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian. Dengan hadirnya pabrik pengolahan dan pemurnian tersebut, kebijakan hilirisasi memicu banyak keuntungan," kata Direktur Eksekutif IRESS Marwan batubara dalam diskusi "Dampak Hilirisasi IRESS: Potensi Kerugian Negara Akibat Penundaan Hilirisasi", di Jakarta, Senin.
Marwan mengatakan keuntungan yang akan diperoleh seperti meningkatnya nilai tambah produk mineral secara finansial dan ekonomi, tersedianya bahan baku industri di dalam negeri, meningkatnya penyerapan tenaga kerja, pendapatan negara dan masyarakat baik melalui pajak, Produk Domestik Regional Bruto, dan pendapatan per kapita.
Berdasarkan hasil kajian IRESS, asumsi investasi yang dapat diraup dalam pembangunan smelter periode 2014-2017 adalah sekitar 25,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp300 triliun. Sedangkan penghematan devisa untuk tahun pertama (2017) program hilirisasi dapat mencapai 10,17 miliar dolar AS atau Rp120 triliun.
Penyerapan tenaga kerja dapat mencapai 2,4 juta orang, lanjut Marwan, jika kebijakan hilirisasi mineral melalui kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral dalam negeri konsisten dijalankan.
Ia menambahkan kebijakan hilirisasi mineral akan mendorong tumbuhnya investasi pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian setidaknya sekitar 185 proposal dengan nilai mencapai 25,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp300 triliun.
Melalui penetapan kebijakan hilirisasi mineral lewat UU No. 4 Tahun 2009 dengan larangan ekspor bijih mineral sejak 12 Januari 2014, Marwan mengungkapkan Indonesia memang akan mengalami penerimaan penurunan penerimaan pajak dan royalti akibat program hilirisasi yang melarang ekspor mineral mentah dalam tiga tahun mendatang sekitar Rp60 triliun hingga Rp100 triliun.
"Memang satu hingga dua tahun akan membuat kita berdarah-darah, tetapi tiga tahun ke depan kita bisa nikmati hasilnya karena fundamental industri kita sudah siap. Ini sangat membantu mengembangkan sumber daya manusia di negara ini," ujar Ketua Umum Asosiasi Metalurgi dan Indonesia Ryad Chairil.
Pada periode 2008-2011 telah terjadi ekspor besar-besaran komoditas mineral tambang. Ekspor bijih bauksit mencapai 40 juta ton, bijih besi 13 juta ton, bijih nikel 33 juta ton, dan tembaga 14 juta ton. Sementara itu, hampir 80 persen industri besi dan baja Indonesia masih mengandalkan scrap impor, mengimpor 500 ribu ton per tahun bahan baku alumina dan impor produk tembaga 1,28 miliar dolar AS pada periode yang sama.
"Ekspor bahan mentah mineral yang selama ini dilakukan membuat struktur industri nasional menjadi keropos, membuat Indonesia kehilangan nilai tambah yang besar dan menjadi bangsa yang tergantung pada bangsa lain. Karena itu, pemerintah, DPR, dan masyarakat harus mendukung agar kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor mineral mentah itu tetap konsisten dijalankan," jelas Marwan.
Pada Januari lalu, Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) mengajukan uji materi atas pasal 102 dan 103 Undang-undang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Saat ini sidang uji materi masih dalam proses.
"Lawan kita bukan dari luar ternyata dari dalam. Saya sangat sedih manakala MK membolehkan ekspor, maka tatanan rusak kita tidak bisa kontrol lagi apa yang terjadi di daerah. Kita sangat gemar mengambil sesuatu yang mudah, tidak mikir lagi," ujar Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral R Sukhyar.