EKBIS.CO, BANDUNG -- Hubungan dagang antara Pakistan dan Indonesia memiliki potensi besar untuk dilirik. Berdasarkan data World Bank dan World Trade Organization (WTO) ada dua hal penting yang mengindikasikan itu. Hal itu terkait jumlah populasi warga di Pakistan yang dapat dianggap relatif besar untuk pangsa pasar, yaitu 179 juta, dan ketergantungan bangsa itu pada impor yang masih cukup besar.
Hingga tahun 2011, Indonesia masih berada di peringkat 10 untuk negara mitra dagang terbesar Pakistan. Padahal sudah 67 tahun Indonesia melakukan hubungan diplomatik dengan bangsa itu. "Kita masih kalah dengan Malaysia yang baru 57 tahun tapi sudah di peringkat 5," ujar Fachry Thaib, Ketua Tetap Perdagangan Internasional, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), dalam Seminar Peluang Pasar dan Investasi di Pakistan dan Bangladesh: Mempererat Hubungan Bilateral Melalu Kerja Sama Ekonomi, di Hotel Holiday Inn, Bandung, Jumat (23/5).
Ia menilai peluang peningkatan perdagangan terutama ekspor beberapa produk Indonesia ke Pakistan masih sangat terbuka. Untuk ekspor kendaraan bermotor dinyatakannya relatif baik dengan melihat masih rendahnya kepemilikan mobil di Pakistan. "Masih kurang dari 1 per sen dari jumlah populasi penduduk," ujar Fachry.
Menurut data Organisasi Internasional untuk Kendaraan Bermotor (OICA) dan Asosiasi Produsen Otomotif Pakistan ada kenaikan impor sejak tahun 2009. Di tahun 2009 Pakistan mengimpor sebanyak 49.869 unit hal itu meningkat untuk tahun 2015 menjadi 57.000 unit. Namun, data ini masih kalah jika dibandingkan Thailand. Di tahun 2011 misalnya, ekspor kendaraan bermotor Indonesia ke Pakistan hanya US$ 16,5 juta, sedang Thailand berhasil menembus US$ 150 juta.
Selain itu, potensi ekspor lainnya adalah dalam bidang telepon dan komponennya. Ia mengatakan menurut data UN Comtrade, nilai impor Pakistan meningkat fantastis. Nilai impor di tahun 2009 sebanyak US$ 596,9 juta meningkat menjadi US$ 1,4 miliar di tahun 2012. Bahkan salah satu produsen Indonesia, yaitu Polytron sudah mengembangkan teknologi telekomunikasi seluler secara potensial.
Potensi lainnya adalah pupuk. Fachry pun menilai pangsa pasar pupuk Indonesia di Pakistan masih relatif kecil, yaitu US$ 25,6 juta pada tahun 2011. Hal itu tidak sebanding dengan kebutuhan impor Pakistan yang meningkat tajam sejak tahun 2010, yaitu US$ 648,4 menjadi lebih dari US$ 1 miliar di tahun 2011.
Sektor konstruksi juga berpotensi menjadi salah satu mesin pertumbuhan ekonomi nasional. Menurut survei sektor konstruksi memberikan sumbangan hampir 12 per sen terhadap total industri. "Indonesia bisa menyuplai material konstruksi atau jasa pekerja konstruksi profesional," usul Fachry.
Namun, sayangnya ia menilai banyak pengusaha di Indonesia yang belum mengenal negara itu. Justru isu terorisme yang mengangkat negara itu. Ia menganggap berbagai kegiatan seperti seminar siang ini perlu terus dilakukan. Pihak pemerintah pun baginya perlu mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk mendukung sektor swasta dalam pameran internasional dan misi dagang ke luar negeri.
Ia pun mengusulkan kerja sama Preferential Trade Agreement (PTA) sebaiknya dimanfaatkan untuk mendorong hubungan dagang kedua negara. Pasalnya sejak penandatanganan PTA di tahun 2012, terjadi peningkatan perdagangan di kedua belah pihak. "Untuk ekspor sebelum PTA Us$ 415,9 juta menjadi US$ 1,4 miliar setelah penandatanganan, sedang untuk impor dari US$ 50,6 juta menjadi US$ 273,2 juta," jelas Fachry.
Di sisi lain, perkembangan itu sepertinya tidak serta merta diikuti oleh tahun berikutnya. Gatot Prasetyo Adji, Direktur Kerja sama Pengembangan Ekspor, Kementrian Perdagangan RI, mengatakan nilai perdagangan Indonesia-Pakistan turun di tahun 2013, yaitu sebesar 4,28 per sen. Hal ini dikarenakan turunnya impor Indonesia dari Pakistan sebesar 38,24 per sen. "Meski begitu ekspor Indonesia ke Pakistan mengalami kenaikan sebesar 2,44 per sen, sehingga ada surplus sebesar US$ 1,25 miliar," katanya.
Potensi ekspor ke Pakistan memang besar. Hal itu dibuktikan dengan angka impor CPO Pakistan yang terus meningkat. Ia menjelaskan kebutuhan CPO Pakistan di tahun 2009 sekitar 2 juta ton. Saat itu Indonesia baru mampu menguasai 10,45 per sennya, dan masih jauh dari Malaysia yang mencapai 89,43 per sen. Namun di tahun 2013 terjadi peningkatan. "Indonesia merebut pasar Malaysia sebesar 44,01 per sen, Malaysia turun menjadi 55,97per sen," ujar Gatot.
Ia sangat mendorong adanya peningkatan peluang ekspor itu. Pakistan merupakan pintu masuk perdagangan Indonesia ke kawasan Asia Selatan. Pakistan juga dimanfaatkan sebagai pintu masuk untuk memasok CPO ke Eropa Timur.
Untuk itu ke depannya ia mengagendakan adanya kerja sama antara institusi publik, swasta, para pelaku usaha. Kerja sama antara lain dengan pembentukan perjanjian perdagangan bilateral, perjanjian investasi bergaransi dan proses pembayaran yang melalui bank.