EKBIS.CO, LONDON -- Bank-bank Inggris masih harus menghadapi risiko krisis keuangan sebab belum memperkuat cadangan mereka. Hal ini disampaikan oleh Richard Sharp, anggota komite kebijakan keuangan Bank Sentral Inggris yang memonitor risiko sektor keuangan negara tersebut.
Sharp menyimpulkan bahwa perekonomian Inggris masih lemah dan rentan terhadap guncangan eksternal. Menurutnya, kebijakan pelonggaran kuantitatif dan suku bunga rendah - seperti yang dikombinasikan oleh Amerika Serikat dan Jepang - bisa menimbulkan masalah sebab investor berusaha memprediksikan bagaimana dan kapan kredit murah bisa ditarik.
Ini adalah peringatan pertama Sharp sejak bergabung dengan Bank Sentral Inggris tahun lalu. Menurutnya, kejutan sektor perekonomian bisa datang dari segala arah dan tak terduga mengingat ketidakpastian ini.
"Tolong jangan berharap bahwa komite itu maha tahu karena memiliki kemampuan kolektif yang selalu berhasil mengantisipasi guncangan ekonomi dan meminimalkan dampaknya. Meskipun kami akan selalu melakukan yang terbaik, namun lebih baik Bank Sentral dipandang sebagai pihak yang tegas dan bertanggung jawab atas setiap kebijakannya. Jadi, ketika guncangan seperti ini terjadi, kita telah membangun sistem kekuatan finansial yang cukup," papar Sharp, dilansir dari the Guardian, Kamis (5/6).
Ada lima kekhawatiran Sharp akan kondisi finansial Inggris ke depannya. Pertama, Bank Sentral sebelumnya gagal menilai risiko sistem kekuatan finansial dan itu harus dipastikan tidak terjadi lagi dikesempatan berikutnya. Kedua, posisi ekonomi Inggris masih rapuh.
Ketiga, perbankan Inggris masih kekurangan modal, meskipun regulator setuju untuk meningkatkan kapitalisasi. Keempat, pelonggaran kuantitatif global menyebabkan inflasi harga aset yang mungkin menimbulkan kerapuhan di pasar, khususnya jika terjadi snap-back suku bunga.
Kelima, perekonomian Inggris rentan terhadap guncagan eksternal. Itu karena masih terjadi guncangan ekonomi di Asia, dimana potensi pertumbuhan dan sistem keuangan Inggris melalui ekspansi bank-banknya. Eropa yang menjadi mitra dagang terbesar Inggris juga tengah menghadapi deflasi.