EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menilai, stabilitas makroekonomi nasional masih rentan. Ekonomi Indonesia mudah memanas ketika ada sentimen negatif yang timbul.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, Indonesia bukan negara yang ekonominya berpengaruh besar terhadap perekonomian global. Sehingga, sedikit saja benturan dalam ekonomi global akan memberikan dampak terhadap ekonomi nasional.
Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang terkena dampak dari tapering off pada 2013. Ekonomi Indonesia yang tadinya tumbuh di atas enam persen mengalami penurunan hingga 5,8 persen. "Pertumbuhan ekonomi harus didukung fundamental yang kuat," kata Mirza dalam fit and proper test dengan Komisi XI DPR, Senin (9/6).
Regulator perlu menjaga makroekonomi tetap terjaga jika menginginkan pertumbuhan yang seperti dulu. Namun, hal ini tidak bisa dilakukan jika pemerintah terus membuka keran impor, tidak mengatasi defisit dan membiarkan utang luar negeri swasta meningkat.
Pemerintah perlu memperbaiki fundamental agar pertumbuhan ekonomi seperti sedia kala. Salah satunya dengan membenahi defisit neraca perdagangan. Pemerintah juga perlu mengontrol impor dan mengganti orientasi ekspor.
Mirza mengatakan, Indonesia tidak bisa lagi menggantungkan ekspor pada komoditas yang saat ini harganya masih fluktuatif. "Harus diganti ke ekspor manufaktur," ujar Mirza.
Pemerintah juga perlu mengendalikan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk mencegah defisit yang terus melebar. Berkurangnya impor BBM diharapkan dapat mengurangi defisit neraca transaksi berjalan.
Mirza mengakui, defisit masih akan terjadi di kuartal kedua dan ketiga tahun ini. Diperkirakan, defisitnya akan lebih besar dibanding kuartal pertama. Hal ini disebabkan Indonesia masih dalam proses stabilisasi.
Sehingga, bank sentral belum mungkin menurunkan suku bunga acuan. "Walau pun bank sentral Eropa (ECB) menurunkan bunga sampai negatif, mereka kan kondisinya deflasi. Kita masih ada inflasi, sehingga tantangannya berbeda," ujar Mirza.