EKBIS.CO, PEKANBARU -- Gabungan Peerusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) mengeluarkan sejumlah solusi untuk mendongkrak komoditas karet nasional, yang produksinya terus merosot dan untuk mendongkrak harga di tingkat petani. "Rekomendasi ini menjadi keputusan bersama dalam Rakernas Gapkindo di Bali beberapa waktu lalu, yang diharapkan bisa diimplementasikan juga di tingkat daerah," kata Sekretaris Gapkindo Riau, Nur Hamlin, ketika dihubungi di Pekanbaru, Senin (25/8).
Ia mengatakan, solusi pertama adalah mendukung revitalisasi perkebunan karet melalui penanam kembali (replanting) terhadap tanaman karet tua. Berdasarkan data statistik Disbun Riau, luas area kebun karet di Riau mencapai 500.851 hektare (ha) yang mayoritas perkebunan rakyat. Sebagian besar tanaman karet berusia tua dan kurang produktif, sehingga produksi per tahun di Riau hanya mencapai 350.476 ton bahan olah karet rakyat (bokar).
Untuk mendukung rencana itu, lanjutnya, Gapkindo sepakat bahwa petani pemilik lahan harus diberdayakan agar tidak kehilangan mata pencaharian saat proses replanting" berjalan. "Petani harus dibantu karena kebanyakan mereka miskin dan hanya punya lahan kecil. Jika ditebang pohon karetnya, maka tak punya penghasilan lalu jaminannya hidup mereka bagaimana nanti," katanya.
Ia mengatakan Gapkindo sepakat untuk menerapkan pola bapak angkat untuk pembiayaan revitalisasi karet. Modal peremajaan karet akan berasal dari perusahaan, dan petani pemilik lahan dijamin tak kehilangan penghasilan.
Menurut dia, perusahaan anggota Gapkindo nanti akan menyediakan bibit karet kualitas unggul dengan pengelolaan yang mumpuni. Harapannya, dalam empat tahun kedepan setelah peremajaan, Riau bisa mendapatkan kualitas tanaman dan karet yang bagus.
"Targetnya adalah produktivitas minimal bisa mencapai dua ton per hektar, jauh meningkat dari produksi sekarang yang rata-rata 600 kilogram per hektar karena tanaman sudah tua," katanya.
Solusi kedua yang ditawarkan Gapkindo adalah untuk membenahi tata niaga komoditas karet yang bisa meningkatkan harga yang didapat petani. Targetnya adalah untuk memangkas tata niaga karet yang begitu panjang sehingga petani tidak mendapat harga yang selayaknya.
"Bayangkan saja karet dari petani rantai pembelinya sangat panjang mulai dari pengepul hingga ke pabrik. Akibatnya, jumlah pendapatan yang diterima petani sangat sedikit," ujarnya.
Menurut dia, solusi tersebut bisa dikembangkan dengan mendorong petani untuk berkelompok dalam menjual bokar dan menjualnya langsung ke pabrik yang akan membantu memfasilitasinya. "Persoalannya sekarang banyak petani kita tak bisa memutus mata rantai itu karena terlilit hutang dari pedagang," katanya.