EKBIS.CO, BATAM -- PT Pertamina Drilling Services Indonesia (PDSI) berencana mengoperasikan sebuah rig pengeboran minyak produksi PT Citra Tubindo Engineering (CTE) Batam, Kepulauan Riau, di padang gurun Aljazair, Afrika, mulai awal tahun depan.
DS-10, rig pengeboran itu oleh Direktur Utama PT PDSI Farid Budiono diberi nama "PDSI#34.3/AB1500 HP" dalam upacara di Kawasan Industri Kabil Batam, Kamis.
Penamaan itu sekaligus ditandai dengan pemberian sertifikat Gubernur Kepulauan Riau Muhammad Sani atas prestasi PT CTE selama enam juta jam sejak 2007 hingga Agustus 2014 atau enam juta jam kerja nihil kecelakaan.
PDSI#34.3/AB1500 dikerjakan CTE selama delapan bulan dan dijadwalkan rampung pada akhir Oktober 2014 untuk dibawa ke Aljazair pada November, dan mulai awal tahun 2015 digunaka mengebor sumur minyak di Blok 405a yang terdiri atas tiga lapangan minyak utama, yaitu Menzel Lejmat North (MLN), Ourhoud, dan EMK.
Sebagian saham ConocoPhillips di unit bisnis itu diakusisi PT Pertamina (Persero) pada 27 November 2013. Menurut Situs Pertamina, perseroan memiliki 65 persen "participating interest" dan bertindak selaku operator di lapangan MLN, sertan masing-masing 3,7 persen dan 16,9 persen di lapangan Ourhoud dan EMK.
Rancang bangun rig DS-10 yang berkapasitas 1.500 "horse power" adalah karya putra-putri Indonesia, dan merupakan produksi ketiga dari OPT CTE setelah DS-8 dan DS-9 pesanan PDSI dioperasikan di ladang minyak ExxonMobil di Banyuaurip, Jawa Timur.
Ke hadapan Dirut PT CTE Kris Taenar Wiluan dan Direktur PT CTE Paul Brunet, Farid Budiono menyatakan sangat percaya diri untuk membawa PDSI#34.3/AB1500 (DS-10) ke padang gurun Aljazair, setelah kinerja DS-8 dan DS-9 terbukti sangat memuaskan karena menghemat 400 hari kerja, serta produksinya lebih besar melampaui ekspektasi ExxonMobil.
Nanti, produk nasional ketiga ini akan dioperasikan di padang gurun, banyak pasir dengan suhu udara yang bisa mencapai 50 derajat Celcius di Aljazair, salah satu negara tempat Pertamina Hulu berekspansi usaha.
Dirut PT CTE Kris Wiluan mengemukakan bahwa rig seharga 26 juta dolar AS itu lebih murah sekitar 10 persen daripada harga propduk dari kompetitor internasional, namun kinerjanya lebih tinggi di kelasnya.
General Manager PT CTE Richard J Briscoe mengemukakan, desain, peralatan dan pengerjaan PDSI#34.3/AB1500 sepenuhnya karya nasional Indonesia, sedangkan permesinannya sebagian besar masih produk luar negeri. "Nanti kami akan membuat mesin sendiri," ucapnya.
Dirut PDSI FArid Budiono menyatakan sangat mendukung industri nasional seperti CTE memproduksi peralatan penunjang industri minyak dan gas bumi.
Pernyataan dukungan serupa juga disampaikan Direktur Hulu PT Pertamina Muhammad Husein."Sebab, hanya dengan peralatan pengeboran yang berkualitas dan jumlahnya memadai, Indonesia akan kembali ke era tahun 1970-an," ujarnya.
Ia menggambarkan, Amerika Serikat pada 10-15 tahun silam merupakan pengimpor minyak terbesar di dunia, namun sekarang menjadi negara pengeskpor lantaran berhasil membangun industri penunjang migas, antara lain rig pengeboran.
"Saya pekan yang lalu menandatangani kontrak impor gas dari AS. Padahal gas Tangguh pernah kita ekspor ke negara itu," kata Husein.
Menurut dia, untuk menutupi kekurangan produksi 600 ribu-800 ribu barel untuk memenuhi kebutuhan konsumsi nasional, Indonesia dewasa ini bukan hanya menghadapi masalah pembiayaan melainkan juga ketidakmudahan mendapatkan penjual.
Oleh karena itu, Pertamina Hulu selain menggarap ladang minyak di dalam negeri juga di luar negeri.
Apa yang dilakukan Pertamina di Aljazair sekarang akan merupakan pintu masuk untuk mendapatkan sumber yang lebih besar di negara itu, seperti yang telah berhasil dicapai Petronas Malaysia di Sudan.
Selain di Aljazair dan Irak, kata Husein, Pertamina juga berharap pada tahun depan dapat menguji 100 sumur minyak di sisi pantai Kalimantan Timur.