EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Syariah dari Universitas Indonesia (UI), Nurul Huda membandingkan, bank syariah di Malaysia bisa besar karena keinginan masyarakatnya terhadap bank syariah yang tinggi dan mendapat dukungan dari pemerintah setempat. Sementara bank syariah di Indonesia meski mendapat sambutan baik dari masyarakat namun kurang mendapat dukungan dari pemerintah.
Kalau dilihat dari perspektif aset, kata Nurul, memang kontribusi total aset perbankan syariah di Indonesia baru di angka 4,9 persen. “Padahal di tahun 2008 kontribusi total aset sudah ditarget 5 persen, tetapi hingga tahun 2014 ini kontribusinya baru 4,9 persen. Tentu pertumbuhannya itu sangat lambat,” ujarnya, kepada Republika, Selasa (4/11).
Pertumbuhan aset yang sangat lambat ini, kata dia, tentu mempengaruhi pangsa pasar yang menjadi terbatas. Artinya, kemampuan perbankan syariah untuk menambah aset terbatas karena pangsa pasar yang juga terbatas.
Ini berbeda halnya dengan kontribusi aset perbankan syariah di Malaysia yang mencapai 25 persen dari perbankan total. Nurul menyebutkan, ada dua faktor mengapa total kontribusi aset bank syariah di Indonesia berbeda dengan bank syariah di Malaysia.
Pertama adalah faktor market driven atau permintaan masyarakatnya terhadap bank syariah. Menurutnya, Indonesia dan Malaysia sama-sama memiliki pola market driven yang tinggi atau tingkat keinginan rakyat terhadap bank syariah sama-sama bagus.
Bedanya adalah dari sisi faktor government driven. Dia menyebutkan, keinginan pemerintah Malaysia untuk mengembangkan bank syariah sangat kuat, baik dalam bentuk regulasi sampai melakukan merger bank syariah untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015.
Pemerintah setempat bahkan sampai melakukan merger karena untuk meningkatkan daya saing. Sementara sisi government driven pemerintah Indonesia sangatlah kurang jika dibandingkan pemerintah Malaysia. “Dukungan pemerintah Tanah Air terhadap bank syariah kecil,” katanya.
Ini bisa dilihat dari belum ada langkah konkrit pemerintah Indonesia untuk memajukan bank syariah. Padahal, kata dia, masyarakat tidak bisa berjalan sendiri memajukan bank syariah tanpa dukungan pemerintah selaku pembuat regulasi.
Misalnya bank syariah di Indonesia baru memiliki regulasi sekitar tahun 2008, padahal bank syariah pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat sudah berdiri sejak tahun 1991. Berbeda halnya dengan Malaysia dimana pada tahun 1983 mendirikan bank syariah pertama dan tahun berikutnya 1984 pemerintah Malaysia langsung ada undang-undang (UU) yang mendukung perbankan syariah tersebut.
Yang tidak kalah penting untuk membesarkan bank syariah di Indonesia yaitu pembentukan bank syariah pelat merah. Menurutnya, bank syariah pelat merah perlu dibentuk karena untuk menjadi indikator keberpihakan regulator.
Dia menyontohkan, pemerintah bisa mengubah Bank BRI menjadi bank syariah pelat merah. Jika itu dilakukan, tentu akan menambah jumlah aset bank syariah karena aset bank BRI relatif besar atau diatas Rp 500 triliun.
“Minimal Bank BTN yang diubah jadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bank syariah pelat merah. Sehingga masyarakat bisa melihat keberpihakan pemerintah,” ujarnya.
Selain itu, ia menilai kalau pemerintah seharusnya bisa melakukan merger bank syariah sehingga punya daya kompetitif tinggi seperti yang dilakukan Malaysia. Menurutnya itu bisa menjadi langkah loncatan memperbesar aset bank syariah.