EKBIS.CO, JAKARTA - Nelayan Indonesia serba terjepit lantaran sektor perikanan bukan termasuk sektor favorit bagi investor. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan nelayan Indonesia belum disiapkan dengan berbagai kemudahan.
Ia membandingkan dengan usaha perikanan di Malaysia yang bahkan tidak dikenai pajak. Di Indonesia, semua serba bayar, bahkan untuk kredit mencapai 10-12 persen. Hal ini mengakibatkan produk Indonesia harganya 30-40 persen lebih mahal dibandingkan negara lain.
Direktur UMKM BRI Djarot Kusumayakti mengatakan potensi di sektor kemaritiman memiliki potensi sekitar Rp 1500 triliun. Namun, diakuinya dari potensi yang besar ini, pihaknya belum banyak masuk lantaran belum begitu mengenal sektor maritim. Pada September ini, posisi kredit di sketor maritim BRI hanya sekitar Rp 7 triliun. Jika dibandingkan dnegan aset, hanya sekitar 1,5 persen saja.
"Kita melihat ada tata niaga yang tidak terlalu jelas, tata niaga belum membangun niklim yang sustain, ini problematika di tata niaga," kata Djarot, dalam FGD OJK tentang sektor kematiman, Kamis (27/11).
Djarot mencontohkan, porsi biaya untuk bahan bakar solar mencapai 55 persen. Sementara, hampir tidak ada insentif di sketor ini sehingga menyebabkan cash flow tidak masuk. Bank, kata dia mendorong mekanisme pasar menjadi lebih sehat, terutama dari sisi logistik. Dengan begitu, bank akan lebih percaya diri dalam memberikan kredit di sektor kemaritiman.
Direktur Institusional Banking Bank Mandiri Menurut Abdul Rahman mengatakan pembiayaan bank di sektor maritim tidak begitu visible. Namun, menurutnya jika pemerintah bisa membenahi infrastruktur dan pajak yang tinggi sehingga bisnis di sektor maritim tampak lebih meyakinkan, perbankan akan masuk untuk memberikan pembiayaan.
Dia mengatakan pihaknya akan membicarakan lebih lanjut sektor yang baik untuk pembiyaan di sektor maritim. Dia mengatakan dengan suku bunga acuan yang mencapai 7,75 persen, mustahil perbankan bisa memberikan bunga yang rendah untuk kredit di sektor maritim.