EKBIS.CO, JAKARTA—Pembangunan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) seharusnya mengikuti dan menyesuaikan dengan rencana tata ruang kota. Tujuannya agar program pengentasan permukiman kumuh terarah dan ditindaklanjuti dengan pemberdayaan masyarakat.
Pengamat perkotaan asal Universitas Trisakti Nirwono Joga mengatakan yang terjadi selama ini pembangunan berjalan sendiri-sendiri, yaitu perumahan dibangun di pinggir kota atau di kawasan non-strategis. Sehingga membuat masyarakat mengeluarkan biaya besar dalam transportasi ke tempat kerjanya.
Dampaknya, meskipun MBR difasilitasi dengan murah bersubsidi, tetap saja mereka dibebankan dengan biaya transportasi yang mahal. Makanya, konsep rumah vertikal penting dikedepankan dalam membangun rumah bagi masyarakat di tengah lahan kota yang makin sempit.
Opsi lainnya, dalam proyek pembangunan rumah bisa sekaligus juga melakukan revitalisasi pasar. Misalnya, dibangun tower 20 lantai. Sebanyak lima lantai terbawah digunakan untuk kawasan pasar, sementara lantai 6-20 untuk rusunawa.
Nantinya, penghuni rusunawa selain dapat tinggal di sana juga bisa memeroleh penghasilan di kawasan pasar dekat rumah. Lantas memudahkan mereka untuk membayar sewa rumah bulanan.
Di samping itu, lanjut dia, seharusnya ada pembiayaan yang kreatif soal pembangunan rumah dengan melibatkan CSR dari pengembang. Singkatnya, pengembang dan pemerintah bekerja sama membangun kawasan rumah terpadu di mana dibangun 1 tower untuk apartemen plus tower untuk perumahan pekerja.
“Dengan begitu, pembangunan tidak sepenuhnya ditanggung pemerintah pusat dan daerah,” terangnya.
Sebelumnya, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PU-Pera) telah menetapkan lima program prioritas dalam mengentaskan permukiman kumuh yakni peningkatan akses aman air minum, peningkatan akses sanitasi, penanganan pelayanan persampahan, penanganan perbatasan, serta penataan kota hijau, kota pusaka, dan kebun raya.