EKBIS.CO, JAKARTA--Akad hibrid belum banyak dibahas di tengah perkembangan ekonomi syariah nasional. Padahal, akad hibrid dinilai jadi salah satu faktor pengembangan ekonomi syariah.
Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia Agustianto menyampaikan, banyak produk perbankan dan keuangan syariah yang mengandung akad hibrid. Seperti Musyarakakah Mutanaqishah (MMQ), Ijarah Muntahiyah bit Tamlik (IMBT), dan pembiayaan take over.
Perkembangan ini perlu dipahami baik oleh pelaku maupun regulator industri keuangan. Bagi pelaku industri keuangan, akad hibrid berkaitan dengan inovasi produk yang kompetitif. ''Jangan sampai bankir syariah menolak peluang yang halal karena kurang memahami teori-teori pengembangan akad,'' ungkap Agustianto dalam siaran resminya kepada ROL, Ahad (22/2).
Akuntan yang menangani pembukuan transaksi akad hibrid perlu mengetahui akad yang digunakan alam transaksi. Sebab pencatatannya pun harus jelas dalam pembukuan. Misalnya produk gadai yang mengandung tiga akad, rahn, qardh dan ijarah.
Menurutnya, penting bagi pelaku keuangan syariah memahami akad secara menyeluruh karena akad berkaitan dengan manajemen risiko, termasuk risiko hukum, termasuk kesesuaiannya dengan aspek syariah.
Bagi regulator termasuk didalamnya Direktorat Jenderal Pajak juga perlu memahami pengembangan akad dalam produk keuangan syariah agar tepat membuat regulasi, pengawasan, dan pembebanan pajak yang tidak berganda. Sebab kesalahan membuat regulasi akan berbahaya dan mengganggu pengembangan keuangan syariah.
Karena sengketa hukum keuangan syariah kini harus diselesaikan di Peradilan Agama atau Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyaranas), maka profesi bidang hukum yang terkait keuangan syariah seperti hakim, aribiter, dan notaris juga perlu membekali diri dengan pemahaman akad-akad yang berkembang.
''Kalau notaris tidak memahami teori hibrid, maka semua akad-akad dalam satu produk, akan dikenakan biaya. Semakin banyak akad dalam satu produk, maka akan semakin banyak biayanya,'' ungkap Agustianto.