EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank Indonesia dinilai masih berpotensi menurunkan suku bunga acuan (BI rate) di bawah suku bunga saat ini 7,5 persen. Meskipun pada Rapat Dewan Gubernur 17 Februari 2015, Bank Indonesai telah menurunkan BI rate sebesar 25 basis poin (bps) dari sebelumnya 7,75 persen.
Ekonom Standard Chartered Bank Eric Sugandhi mengatakan, pada Maret BI rate masih berpotensi untuk dipangkas lagi sebesar 25 bps. Sebab, melihat dari data deflasi Februari yang dinilai cukup tinggi mencapai 0,26 persen.
“Kami expect BI rate bisa di-cut lagi 25 bps. Maret bisa deflasi atau inflasi rendah. Outlook kami inflasi akhir tahun 2015 sekitar 3,7 persen (yoy), jadi possibility BI rate di-cut masih ada,” kata Eric saat dihubungi Republika, Selasa (3/3).
Menurutnya, masalah yang perlu diperhatikan adalah independensi Bank Indonesia harus dijaga. Kalau BI rate di-cut lebih lanjut, kata Eric, karena Bank Indonesia melihat ruang untuk itu, bukan karena tekanan dari pemerintah agar BI memangkas suku bunga.
“Karena kredibilitas lembaga pemerintah harus dipertahankan,” ujarnya.
Eric mengatakan, jika outlook ekonomi tahun 2015 positif, BI rate berpotensi untuk diturunkan lebih lanjut. Menurut forcase Standard Chartered Bank, BI rate bisa di-cut 25 bps pada Maret, kemudian di kuartal II tetap. Selanjutnya, jika The Fed menaikkan suku bunga di kuartal III, pada September diperkirakan Bi rate naik 25 bps, dan naik lagi 25 bps pada Oktober.
“Itu dengan asumsi The Fed naikkan suku bunga tahun ini. Prediksi kami BI rate 7,75 persen di akhir 2015. Kalau Pemerintah Jokowi berharap enggak apa-apa karena mengejar pertumbuhan ekonomi yang ritnggi 5,7 persen di akhir 2015,” jelasnya.
Eric menilai, sejauh ini faktor eksternal yang paling dominan dalam mempengaruhi tingkat suku bunga yakni kepastian The Fed menaikan suku bunga. Jika The Fed menaikkan suku bunga tahun depan, lanjutnya, berarti peluang Bank Indonesia menurunkan BI rate lebih lenjut lebih besar. Namun, jika suku bunga cepat dipangkas akan berisiko terhadap pembengkakan defisit transaksi berjalan (CAD). Risiko kedua, lanjutnya, harga minyak dunia jika berbalik tajam akan berpengaruh terhadap inflasi dan CAD.