EKBIS.CO, JAKARTA – Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp 12.962 per dolar AS pada Selasa (3/3). Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Tirta Segara mengatakan, faktor utama pelemahan adalah penguatan dolar AS meskipun Gubernur The Fed Janet Yellen menyatakan tidak akan menaikkan Fed Fund Rate dalam waktu dekat.
Persepsi investor menilai ekonomi AS akan tetap membaik sehingga secara relatif dolar AS menguat terhadap semua mata uang. Jika dibandingkan dengan Yen Jepang, kurs rupiah dinilai stabil, sedangkan dengan Euro justru menguat.
“Tapi kursnya sendiri BI tidak punya target level tertentu. Yang kita dorong adalah rupiah itu sepanjang koridor fundamental dan kompetitif,” kata Tirta saat dihubungi Republika, Selasa (3/3).
Menurutnya, fundamental rupiah itu dinamis dan levelnya setiap saat bisa berubah, tapi kursnya tetap konsisten dengan pencapaian stabilitas makro ekonomi. Rupiah, kata Tirta, harus konsisten dengan beberapa target misalnya bisa ikut menekan defisit transaksi berjalan (CAD), menjaga inflasi tetap rendah, serta mencapai targetpertumbuhan ekonomi. Jika kurs rupiah terlalu tinggi atau rendah akan menyebabkan imported inflation, harga barang impor akan naik, sehingga mempengaruhi inflasi.
“Kurs rupiah dijaga kompetitif agar menjaga ekspor, kalau melemah juga bisa mendorong ekspor. Pelemahan ini fenomena global terhadap semua mata uang global, kalau rupiah tidak ikut melemah tidak kompetitif,” imbuhnya.
Oleh sebab itu, Tirta menegaskan Bank Indonesia akan selalu berada di pasar melakukan intervensi untuk mengurangi volatilitas atau fluktuasi rupiah yang berlebihan. Jika rupiah melemah atau menguat secara tajam akan diintervensi. Menurutnya, BI juga melihat gejolak pelemahan rupiah temporer atau permanen. Jika temporer, rupiah akan kembali menguat sendiri.
Selain itu, BI melihat likuiditas di pasar, dalam kondisi normal supply dan demand sekitar 5 miliar dolar AS per hari. Jika dibandingkan Malaysia atau Thailand yang mencapai 11-13 miliardolar As, Indo lebih dangkal. Bahkan, likuiditas pasar di Singapura mencapai 300 miliar dolar AS per hari.
Saat kondisi suplai valas kurang atau eksportir sedang butuh valas tidak melepas dolar sehingga suplai kurang. Padahal ada beberapa importir atau pengusaha yang repatriasi usaha perlu valas juga ikut menekan rupiah. Menurutnya, dalam kondisi itu BI akan masuk pasar untuk intervensi.
“Tapi harus terukur, memperhatikan apakah kondisi pasar seperti itu, kalau arahnya seluruh dunia ada pelemahan kita akan ikuti, kita tidak akan pertahankan mati-matian rupiah enggak akan kompeteitit, kita tetap jaga kompetitif agar mendorong ekspor,” terangnya.
Menurutnya, kondisi rupiah ke depan akan tergantung supplay dan demand. Kondisi capital inflow dari Januari sampai Februari yang mencapai Rp 57 triliun dinilai masih tinggi. Kondisi itu dinilai mencerminkan kepercayaan investor yang masih tinggi untuk berinvestasi di Indonesia.