EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) mencatat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar 4,8 persen year to date.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan, dari akhir tahun 2014 sampai sekarang terjadi depresiasi rupiah sekitar 4,8 persen. Jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain seperti Brazil, India, Turki, nilai tukar mata uang negara tersebut lebih terdepresiasi. Mata uang Brazil terdepresiasi 13 persen terhadap dolar AS year to date, sedangkan Turki terdepresiasi 11 persen.
"Jadi kalau Indonesia 4,8 persen, itu kita tahu bahwa negara-negara berkembang utamanya sedang terpengaruh juga dengan kuatnya rupiah," kata Agus di kantor Kementerian Keuangan, Jumat (6/3).
Agus mengatakan kondisi rupiah sedang fluktuatif dan ada gejolak seperti mata uang lain di dunia terhadap dolar AS. Pemulihan ekonomi AS dan penguatan dolar dinilai menjadi faktor utama depresiasi mata uang di dunia khususnya negara berkembang.
Selain itu, adanya quantitative easing (QE) yang dilakukan bank sentral Eropa (ECB) senilai 60 miliar euro per bulan. Kebijakan penurunan suku bunga di China dan penurunan harga komoditas dunia juga menjadi pemicu fluktuasi mata uang di dunia termasuk rupiah.
Kondisi likuiditas dinilai cukup baik. Pengeluaran pemerintah di bulan Maret diperkirakan akan terus meningkat karena APBNP sudah disetujui sehingga tidak ada likuiditas yang ketat. Namun, yang perlu diperhatikan, kata Agus, rasio dana pihak ketiga terhadap kredit atau loan to deposit ratio (LDR) sudah cukup tinggi. Sehingga untuk meningkatkan investasi infrastruktur akan ada keterbatasan jika hanya mengandalkan dana dari perbankan.
"Oleh karena itu, inisiatif pendalaman pasar keuangan perlu kita lakukan supaya bisa membiayai kebutuhan investasi dan lain-lain," imbuhnya.
Untuk membatasi penggunaan dolar AS di dalam negeri, BI merujuk kepada Undang-Undang mata uang yang menyatakan selama ada di Indonesia transaksi harus dilakukan dalam rupiah. Namun saat ini, dunia usaha cukup banyak yang menggunakan transaksi secara nontunai dalam valas. Sehingga untuk menciptakan rupiah yang stabil paradigma tersebut dinilai perlu diubah.
BI mengimbau kepada pengusaha yang melakukan utang luar negeri (ULN) dengan hati-hati melalui lindung nilai (hedging).
Sebab, risiko ULN tanpa dilakukan lindung nilai cukup besar terhadap nilai tukar rupiah.
"Tapi kalau masih pengusaha Indonesia tidak sabar dan masih tetap melakukan seperti itu nanti risikonya sangat jelas. Antara lain tadi, nilai tukar yang tadinya Rp 11 ribu menjadi Rp 13 ribu. Kalau pinjaman dalam valas, berapa ruginya," ujar Agus.