EKBIS.CO, JAKARTA -- Kebijakan Bank Indonesia menahan BI rate dinilai cukup antisipatif. Bank Indonesia mengumumkan mempertahankan suku bunga di level 7,5 persen pada Selasa (17/3).
Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto mengatakan, kebijakan BI sudah cukup antisipatif. Kebijakan BI dinilai tidak reaktif, ketika rupiah terkoreksi tiba-tiba berubah arahnya suku bunga dinaikkan lagi.
"BI mencoba untuk membuat kebijakan ini ada kredibilitasnya. Artinya arah BI sinyalnya bahwa kebijakan stabilitasi agak diperlonggar," jelas Eko saat dihubungi Republika Online, Selasa sore.
Menurutnya, meskipun rupiah agak melemah tapi dua bulan terakhir terjadi deflasi. Dia menilai pertimbangan deflasi bobotnya lebih utama sehingga BI rate dipertahanan. Bank Indonesia, kata Eko, yakin kebijakan menahan BI rate lebih tepat ketimbang dinaikkan yang seolah-olah tidak ada konsistensi. Hal itu akan menjadi pertanyaan pelaku ekonomi.
"BI memandang indikator lain seperti deflasi. Prospek ke depan dari sisi harga-harga bisa saja ada inflasi tapi harga komoditas dan minyak belum akan pulih sehingga tekanan harga minyak masih lemah," imbuhnya.
Terkait rupiah, lanjutnya, BI melihat adanya faktor eksternal yang cukup besar seperti pemulihan ekonomi AS yang dampaknya hampir ke semua negara. BI mencoba konsisten dengan statement yang dikeluarkan, meskipun defisit transaksi berjalan (CAD) tapi faktor eksternal lebih dominan. Menurut Eko, CAD merupakan faktor utama Indonesia gampang digoyang nilai tukar.
"Dengan kebijakan BI rate ini masih ada harapan pertumbuhan ekonomi setidaknya 5 persen terrealisasi," ujarnya.
Meskipun, kebijakan menahan BI rate punya konsekuensi nilai tukar akan sekidit melemah. Namun, BI diperkirakan akan menjaga jangan sampai nilai tukar rupiah mencapai Rp 13.500 per dolar AS. Sehingga kebijakan menurunkan BI rate dinilai BI punya level konfidence yang cukup tinggi.
Selain itu, kebijakan menahan suku bunga dinilai akan berdampak ke sektor riil sehingga harus ada support dari sisi fiskal. Pemerintah diminta segera mengeksekusi anggaran dan tambahan belanja modal. Pada tahun-tahun sebelumnya, 50-70 persen dari anggaran baru dieksekusi pada triwulan ketiga dan keempat. Jika hal itu dilakukan lagi, menurutnya, efeknya nilai tukar akan kelimpungan lagi. Sebab, kebutuhan impor infrastruktur masih tinggi, seperti baja dan bahan baku lain. Sementara, dari sisi pengusaha dinilai ada optimisme pasar yang besar dan ruang fiskal yang tinggi untuk menggenjot aliran modal.