EKBIS.CO, JAKARTA -- Indonesia memiliki potensi besar terkait penjualan mebel dan kerajinan ke luar negeri. Melimpahnya bahan baku yang tersebar di seantero negeri menjadi keunggulan yang tak dimiliki negeri lain.
Meski dekimian, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Lisman Sumardjani mengatakan masih ada beberapa catatan yang kerap menghambat perkembangan industri ini untuk tumbuh lebih besar.
Saat ditemui Republika Online di Stand Asmindo, saat pameran International Furniture & Craft Fair Indonesia (IFFINA) 2015 di Parkir Timur Senayan, Jakarta, Selasa (17/3), Lisman mengatakan dari 2840 anggota Asmindo, 80 persennya ialah UKM. Hal ini yang kadang membedakan dengan negara-negara lain yang merupakan industri besar.
Ia mengatakan tingginya biaya logistik menjadi salah satu permasalahan yang tidak kunjung selesai. Dengan tingginya biaya logistik, otomatis transportasi kirim barang ekspor dan pengiriman bahan baku dari daerah terbilang mahal."
"Biaya logistik kita hampir 25 persen dari PDB, itu mahal sekali," ujar Lisman.
Ia menambahkan dalam bisnis furnitur ini juga memiliki ketergantungan terhadap tingkat perekonomian dunia. Selain itu, ia juga mengeluhkan tingginya biaya bunga bank bagi setiap orang yang mau investasi di Indonesia.
"Bunga bank di Indonesia mencapai 12 persen, di Malaysia cuma lima persen, kita harus ada dukungan dari kondisi makro ekonomi Indonesia," sambungnya.
Ia menilai perlu adanya penurunan biaya bunga bank jika ingin bersaing dengan negara-negara lain yang dikatakannya bahkan hanya mematok biaya bunga dua persen.
Lisman mengaku jika kita mampu membenahi kendala-kendala tersebut, Indonesia akan mampu meninggalkan negara-negara tetangga lain terkait ekspor furnitur ini. Ia menilai Malaysia dan Vietnam masih menjadi kompetitor terberat dalam hal ini, namun untuk Malaysia ia mengaku optimisi mampu memenangkan persaingan mengingat dalam pandangannya Malaysia tidak memiliki kayu. Dengan adanya SVLK yang diminta negara-negara tujuan membuat negara tetangga Indonesia ini kelimpungan lantaran kayu-kayu dari Indonesia tidak bisa lagi keluar menuju Malaysia.
Sedangkan Vietnam, jika berbicara dari segi pendapatan, ia mengatakan Indonesia tertinggal jauh. "Kalau bicara angka, ekspor furnitur Vietnam meraup angka sebesar 8 miliar dollar per tahun, sedangkan kita kurang dari dua miliar dollar per tahun," lanjut Lisman.
Nilai ekspor 1,8 miliar dollar AS per tahun yang didapat Indonesia selama 2014 lalu bukan merupakan pencapaian yang baik jika menilik melimpahnya bahan baku yang tersedia.
Namun, ia mengatakan besarnya raihan yang didapat Vietnam lantaran pengusaha yang terlibat merupakan pengusaha asing dari Taiwan dan dengan industri besar, beda dengan yang terjadi di Indonesia yang notabene masih dilakukan oleh tangan-tangan lokal.
Meski terus menggembleng ekspor furnitur ke luar negeri, ia meminta pemerintah memikirkan penjualan furnitur di dalam negeri mengingat di Indonesia pun terdapat banyak orang kaya. Menurutnya percuma saja jika banyak orang dari negara lain membeli produk furnitur dari Indonesia, namun masyarakat kita justru membelinya dari luar.
"Kita jangan cuma mikir ekspor, kalau pada akhirnya kampung kita diserbu orang."
Terkait melemahnya nilai tukar rupiah, Lisman menambahkan ada dampak baiknya bagi tingkat ekspor furnitur, namun ia mengaku para buyer juga paham dengan situasi ini sehingga meminta diskon harga.