EKBIS.CO, JAKARTA -- Kebijakan strategi penguatan rupiah yang dikeluarkan oleh pemerintah masih bersifat kontemporer. Seharusnya, paket ini juga diikuti dengan kebijakan menghentikan perdagangan bebas, karena dapat merugikan dan menjadi faktor penghambat perbaikan nilai rupiah.
Manajer Riset dan Monitoring Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti mengatakan, selama ini perjanjian perdagangan bebas telah berkontribusi dalam peningkatan nilai impor akibat dihapuskannya proteksi pasar dalam negeri. Namun, di sisi lain pemerintah kesulitan untuk meningkatkan nilai ekspor karena terhanjal dengan proteksi oleh negara-negara tujuan ekspor.
"Penerapan perjanjian bebas tidak adil bagi Indonesia, kita membuka pasar tanpa proteksi sedangkan negara tujuan menerapkan proteksi, kalau memang tidak mau membuka pasar lalu buat apa ada perjanjian bebas," ujar Rachmi dalam siaran pers yang diterima Republika Online, Kamis (19/3).
Proteksi yang paling sering digunakan yakni terkait dengan perlindungan kesehatan manusia yang banyak diatur dalam ketentuan Sanitary and Phitosanitary (SPS). Di antara negara-negara FTA Indonesia seperti Australia, Korea Selatan, dan India sering mendapatkan keluhan terkait penerapan proteksinya di WTO.
Sengketa WTO akibat penerapan proteksi terkait dengan SPS banyak ditujukan kepada Amerika Serikat sebanyak 8 kasus, Uni Eropa ada 9 kasus, Australia sekitar 6 kasus. Sementara, Korea Selatan dan India masing-masing ada 5 kasus serta 3 kasus.
"Penerapan bea masuk anti dumping tidak mampu membendung agresifitas pembukaan pasar," kata Rachmi.
Menurut Rachmi, ketika Asean RECP berlaku maka akan kembali membuka 10 ribu pos tarif. Sehingga dalam menyelamatkan rupiah pemerintah Indonesia harus segera membatalkan perjanjian perdagangan bebas yang telah ditandatangani. Selain itu, pemerintah juga perlu menghentikan proses perundingan perjanjian perdagangan bebas yang masih berjalan.