EKBIS.CO, JAKARTA -- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Lingkungan Hidup Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan (LHPIPB) menyambut baik keputusan pemerintah melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang memberikan insentif terhadap 10 bidang usaha investasi hijau.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang LHPIPB Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, insentif tersebut merupakan satu langkah konkret menjawab kebutuhan dunia usaha untuk berinvestasi dalam konteks investasi hijau.
Menurut Shinta, sangat penting bagi pemerintah untuk menjawab tantangan dunia usaha terkait urgensi penerapan insentif hijau guna menjawab isu lingkungan. Salah satu usulan dunia usaha untuk meng-encourage penggunaan produk ramah lingkungan adalah diberikannya keringanan pajak bagi produk atau usaha yang bersifat ramah lingkungan. Akurasi yang harus diperhitungkan adalah perbandingan dari kehilangan sebagian pendapatan pemerintah dari sisi pajak dan biaya yang harus dikeluarkan akibat kerusakan lingkungan. Dimana biaya tersebut akan dirasakan di masa yang akan datang dengan dampak lebih panjang.
"Tantangan pemerintah yang dihadapi diantaranya adalah bagaimana mendesain kebijakan yang ongkosnya minimal ditengah beban fiskal yang ada," kata shinta dalam siaran pers, Senin (27/4).
Berdasarkan kajian BKPM terdapat sepuluh bidang usaha investasi hijau antara lain, pengusahaan tenaga panas bumi, industri pemurnian dan pengolahan gas alam, industri kimia dasar organik yang bersumber dari hasil pertanian (fragrance), industri lampu tabung gas (led), pembangkit tenaga listrik, pengadaan gas alam dan buatan, penampungan penjernihan dan penampungan air bersih, angkutan perkotaan yang ramah lingkungan, kawasan pariwisata (ecotourism) dan pengelolaan dan pembuangan sampah yang tidak berbahaya.
Saat ini BKPM secara trilateral bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian Teknis tengah menyiapkan aturan terkait sop pemberian fasilitas tax allowance yang dapat diajukan melalui PTSP pusat menyusul diterbitkannya peraturan pemerintah no 18 tahun 2015. Mengenai hal ini KADIN menilai ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar aturan tersebut aplikatif.
“Ada beberapa hal yang dinilai dunia usaha perlu diperhatikan terkait SOP yang tengah dibuat pemerintah yakni harus adanya sinergitas antara Kementerian Keuangan dan BKPM. Artinya jangan sampai rekomendasi yang sudah diberikan dengan mengusung semangat percepatan melalui PTSP Pusat tapi kemudian mekanisme di institusi selanjutnya tidak selaras dengan semangat percepatan itu dan pada akhirnya tujuan untuk percepatan investasi dan merangsang investasi tidak tercapai, “ jelas Shinta.
Shinta menekankan perlunya dibuat mekanisme agar setelah rekomendasi Tax Allowance diberikan terkoneksi antara tiga pihak yakni Kementerian Keuangan, BKPM dan dunia usaha. Terlebih saat ini sudah zaman otomatisasi semua serba elektronik jadi jika BKPM memberikan rekomendasi kepada dunia usaha harus segera terkonekasi pada kementerian keuangan sehingga otomatis langsung diproses sehingga tidak memerlukan waktu yang lebih panjang.
Hal lainnya yang juga perlu diperhatikan yakni menghindari adanya tumpang tindih persyaratan antara dua institusi yang terlibat dalam memberikan rekomendasi, jangan sampai ada aturan yang sudah diminta di satu institusi kemudian diminta lagi di institusi lainnya termasuk peraturan di tingkat Pusat- Daerah hingga menjadi paradoks dengan semangat pemerintah dalam mendukung green incentives serta percepatan investasi.
Dari sudut pandang dunia usaha langkah konkret pemerintah untuk memberikan insentif hijau dinilai sangat penting karena berbagai label peduli lingkungan menjadi sangat penting dalam era globalisasi dan kompetisi usaha, tanpa mengenyampingkan tujuan utama perusahaan yakni profitabilitas. Karena itu, dunia usaha selalu bergerak berdasarkan trend yang dibentuk oleh permintaan pasar dengan tetap mengusung Profit, People dan Planet.
"Sejumlah wacana terkait green insentive tentunya bisa menjadi pertimbangan pemerintah dalam kebijakannya selanjutnya. Dari sisi perbankan misalnya perlu adanya kebijakan konkret yang bisa mengatur pemberian insentif bagi jenis usaha yang berwawasan hijau dan selama ini jika ada sosialisasinya pun masih sangat minim hingga kurang aplikatif," imbuhnya.
Kemudian dari sisi produsen, lanjut Shinta, misalnya wacana mengenai pemberian insentif bagi kegiatan produksi dengan menggunakan peralatan dengan energi yang ramah lingkungan atau selain energi fosil, antara lain dalam bentuk pengurangan persentase pajak penghasilan BUT (Bentuk Usaha Tetap) bagi perusahaan yang disertifikasi sebagai pengguna Teknologi Alternatif.
Misalnya, pengurangan dapat diberikan selama tiga tahun berturut-turut kepada perusahaan yang telah memiliki seritifkasi yang diterbitkan pemerintah dengan standar teknologi ramah lingkungan tertentu, atau yang telah menerapkan konsep CDM (Clean Development Mechanism) yang distandarkan oleh pemerintah.
Banyak perusahaan di Indonesia yang dengan kesadaran dan investasinya sendiri telah mencari bentuk inovasi dan menerapkan konsep CDM, namun inisiatif ini tidak dengan mudah diadaptasi karena harga investasi yang relatif mahal tanpa ada insentif untuk pilhan yang mahal tersebut, sehingga konsep itu hanya menjadi opsi untuk menerapkan perilaku baik atau tidak baik.
Selain itu, insentif dari sisi konsumen yang bisa dikaji apakah aplikatif untuk diterapkan di indonesia seperti yang dilakukan sejumlah negara maju. Bentuknya berupa kredit pajak pembelian oleh konsumen yang memutuskan untuk memenuhi kebutuhannya dengan menggunakan berbagai peralatan rumah tangga dengan teknologi efisiensi.
Pemberlakuan kredit pajak individu seperti ini telah ada di Inggris dan Australia yang diberikan untuk konsumen yang berani membayar lebih mahal untuk mengkonsumsi barang ramah lingkungan, dimana untuk barang-barang yang telah dibeli dengan harga lebih mahal, pajak atas barang tersebut dapat mengurangi pajak pendapatan individunya, yang akan diperhitungkan pada saat pelaporan pajak. Model ini telah membentuk komunitas masyarakat konsumen hijau. Di Australia terbukti 75 persen konsumennya bersedia membayar lebih mahal atas produk-produk ramah lingkungan sementara di Inggris persentasenya mencapai 81 persen.