EKBIS.CO, JAKARTA -- Industri rumput laut indonesia masih kesusahan dalam memperoleh bahan baku. Meski Indonesia dikenal sebagai salah satu produsen rumput laut terbesar dunia, namun ironisnya industri rumput laut dalam negeri harus bersaing ketat dengan Cina dalam memperoleh bahan baku. Hal ini karena Cina sebagai sasaran ekspor terbesar rumput laut Indonesia, mematok harga lebih tinggi. Hasilnya, pelaku usaha pengolahan rumput laut dalam negeri harus "mengalah".
Wakil Ketua Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia Sasmoyo S. Boesari menyebut, pengusaha Cina yang mengimpor rumput laut Indonesia mendapat stimulus sekaligus insentif dari negara mereka sebesar 15 persen hingga 35 persen. Hal tersebut, kata dia, menyebabkan industri dalam negeri harus berjuang keras untuk membeli bahan baku.
"Di era globalisasi saat ini investasi bisa tidak terkendali dan semua investor bisa masuk sedangkan industri dalam negeri penguatannya belum siap," jelas Sasmoyo, Senin (4/5).
Lebih lanjut, Sasmoyo menambahkan, dampak dari pemberian insentif 15 hingga 35 persen kepada pengusaha Cina oleh pemerintah mereka, industri dalam negeri kalah bersaing. Dia menyebut, pelaku industri rumput laut lokal harus membeli 15 hingga 35 persen lebih mahal dari pada harga sesungguhnya.
"Kalau kita mampu naik hingga 10 persen tetap kita tidak mendapatkan barang dan ini merupakan problem yang selama ini kita hadapi," ujarnya.
Sasmoyo bahkan mengatakan bahwa hal inilah yang juga menyebabkan tidak berkembangnya rifenary atau penganan rumput laut di Indonesia. Indonesia, lanjut dia, hanya sebatas penghasil barang mentah dengan nilai jual rendah.
"Cina bisa dikatakan 70 persen hingga 80 persen importir rumput laut dari Indonesia sebagai bahan baku, dengan kebijakan mereka sudah dapat mempengaruhi peta market dunia," kata Sasmoyo lagi.