EKBIS.CO, JAKARTA -- Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, diketahui utang yang ditinggal oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebesar Rp 2.604 triliun. Sementara pada era Presiden Joko Widodo, sampai bulan Maret tahun ini tanggungan utang sekitar Rp 2.795 triliun.
Menurut Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi, hal itu berarti, utang Indonesia dari Presiden SBY ke Presiden Jokowi bertambah tidak signifikan.
"Hanya sebesar Rp 191 Triliun. Dan penambahan utang ini, baru sedikit, dan angkanya juga baru sementara saja," kata Uchok Sky Khadafi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (22/5).
Uchok menuturkan, sejak APBNP 2015 disahkan oleh DPR, pemerintahan Presiden Jokowi membutuhkan anggaran untuk kebutuhan pembiayaan sebesar Rp 507,5 triliun. Demikian pula, untuk menutupi defisit anggaran dalam APBNP tahun ini sebesar Rp 222,5 triliun. Tambah lagi, untuk pembayaran utang yang jatuh tempo sebesar Rp 223 triliun dan pembiayaan nonutang sebesar Rp 62 triliun.
Uchok melanjutkan, dana untuk menutupi pembiayaan terinci di atas, berasal dari utang sebesar Rp 502,4 triliun dan sebesar Rp 5,1 triliun dari non utang.
"Ini semua atau anggaran utang sebesar Rp 507,5 triliun hanya dipergunakan seperti 'gali lubang untuk menutupi lubang', yang bernama utang. Bukan untuk kebutuhan investasi dalam bentuk proyek-proyek yang produktif," ujar dia.
Sehingga, lanjut Uchok, pada akhir tahun nanti pemerintahan Presiden Jokowi akan punya utang sebesar Rp 3.303 triliun, yang akan dibebankan pada pembayar pajak.
"Artinya, gara-gara rezim Jokowi punya utang sampai sebesar Rp 3.303 triliun, maka setiap penduduk akan punya utang sebesar Rp 13 juta per orang," kata dia.