EKBIS.CO, JAKARTA - Surplus neraca perdagangan yang terjadi berturut-turut dalam lima bulan terakhir dinilai bukanlah sebuah prestasi. Surplus ini justru menjadi peringatan keras bagi pemerintah bahwa perekonomian Indonesia bisa melambat lebih dalam.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri mengatakan, surplus neraca perdagangan Indonesia tidak sehat karena lebih besarnya penurunan nilai impor, bukan karena meningkatnya ekspor. Ekspor bahkan ikut turun.
"Ini bukan prestasi industri dalam negeri ataupun keberhasilan pemerintah mengendalikan impor," kata Heri kepada Republika, Rabu (17/6).
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja perdagangan Indonesia pada Mei 2015 surplus 955 juta dolar AS. Secara kumulatif dari Januari-Mei 2015, neraca perdagangan surplus 3,74 miliar dolar AS.
Nilai impor Mei 2015 hanya mencapai 11,61 miliar dolar AS atau turun 8,05 persen. Bila dibandingkan dengan Mei 2014, turun 21,40 persen. Sedangkan nilai ekspor Mei sebesar 12,56 miliar dolar AS atau turun 15,24 persen dibanding Mei 2014.
Heri mengatakan penurunan impor yang begitu tajam bukanlah hal bagus. Apalagi penurunan itu terjadi pada golongan barang bahan baku yang anjlok 10,01 persen terhadap April 2015.
Penurunan impor bahan baku, ujar dia, menjadi bukti nyata bahwa pertumbuhan Industri di Indonesia menurun. Maklum, bahan baku industri Tanah Air kebanyakan memang masih didapat dari hasil impor. "Ini mencerminkan industri kita sedang lesu. Produktivitas berkurang," ujarnya.
Sedangkan penurunan barang konsumsi sudah jelas menjadi bukti menurunnya daya beli masyarakat akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Meski begitu, Heri tidak sepakat bahwa ekonomi Indonesia menuju resesi. Dia bahkan yakin Indonesia masih jauh untuk mengalami resesi. "Ekonomi kita masih tumbuh positif. Triwulan I ekonomi masih 4,7 persen. Resesi kan kalau pertumbuhan negatif," ucap dia.