EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengamat Kebijakan Ekonomi Publik Ichsanudin Noorsy menyebutkan bahwa Jaminan Hari Tua (JHT) yang dimiliki oleh Indonesia masih kalah dengan sistem asuransi di Cina. Padahal, gaji buruh di Cina lebih kecil dari gaji buruh di Indonesia.
“JHT yang dimiliki oleh Indonesia, itu tidak sama dengan JHT yang dimiliki oleh barat, karena sistem asuransi yang cukup memadai. Bahkan dengan sistem asuransi Cina sekalipun, kita kalah. Padahal Cina tidak memberikan upah yang cukup tinggi,” ujar Noorsy saat dihubungi ROL, Sabtu malam (4/7).
Noorsy menjelaskan pensiun buruh dari negara Cina dan negara-negara barat bisa berwisata ke berbagai tempat, hal itu karena jaminan hari tua yang dimiliki mereka cukup memadai. Sementara saat ini daya beli buruh di Indonesia masih rendah sehingga banyak yang menolak peraturan pencairan dana JHT yang harus 10 tahun kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, menurutnya, BPJS punya maksud baik dalam hal ini.
“Ini ada motif dari BPJS ketenagakerjaan membantu pemerintah yang kekurangan pendanaan dari segi pelaksanaan APBN. Maka BPJS bermaksud untuk mendayagunakan uang yang ia punya. Uang yang bisa digunakan adalah dengan cara menunda pembayaran jaminan hari tua,”tuturnya.
Cara mendayagunakan uang tersebut antara lain bisa lewat Surat Utang Negara (SUN), Surat Berharga Negara (SBN) atau lewat sukuk. Menurutnya, pemerintah mempunyai motif ganda dengan JHT. Motif yang pertama, pemerintah akan menyatakan surat hutangnya laku. Kedua, dengan surat hutangnya laku, pemerintah mengatakan tingkat kepercayaan masih baik.
“Persoalan pokoknya begini, bagaimana kalau JHT terjadi pada mereka yang PHK karena sudah pensiun, apakah diberikan sekaligus atau tidak. Itu yang maksudnya kemudian digeser (pencairan dana) jadi 10 tahun. Itu maksudnya menolong pemerintah yang kesulitan likuiditas,”ujarnya.