EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah dinilai harus realistis menghadapi kondisi rupiah yang semakin lemah saat ini. Masyarakat dan pelaku usaha juga harus mempersiapkan mental psikologisnya untuk menerima fakta nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan ada dalam kisaran Rp 15 ribu dalam beberapa waktu ke depan.
"Meski begitu, kondisi ini seharusnya tidak membuat kita terlalu panik karena Indonesia bisa belajar dari pengalaman dua kali krisis," ujar Ketua Bidang Pembinaan UKM dan Koperasi DPP Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Ismed Hasan Putro dalam siaran persnya, Selasa (15/9) malam.
Justru, kata dia, situasi ini bisa menjadi momentum untuk konsolidasi bisnis agar semakin efisien dan memiliki daya saing menghadapi persaingan pasar Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dilaksanakan pada 2016.
Mengantisipasi tekanan dolar AS yang semakin kuat, sejatinya pemerintah harus menyiasati daya tahan ekonomi nasional dan daya saing bisnis kita dengan beberapa cara.
Diantaranya menurunkan tingkat suku bunga, menurunkan harga bahan bakar minyak, menghilangkan rente dan ekonomi biaya tinggi yang berpotensi menjadi pelemah daya kompetisi bisnis, menunda kenaikan tarif listrik, dan menghapus perizinan yang menjadi peluang enggannya pelaku bisnis dan investor untuk berinvestasi.
"Khusus kepada pelaku usaha baru, khususnya usaha kecil dan menengah serta koperasi, pemerintah perlu memberikan insentif khusus," ucap Ismed.
Terbukti, pada krisis 1998 dan 2008 pelaku usaha dari UKM dan koperasi dapat menjadi penyangga dalam menjaga pertumbuhan bisnis dan perekonomian nasional.
Selain itu, tentu saja pemerintah harus bisa menciptakan tata kelola pemerintahan yang semakin solid, ramah pada pelaku usaha dan investor, serta memangkas regulasi yang selama ini menjadi ladang perburuan rente.