EKBIS.CO, JAKARTA -- Laporan baru dari Asian Development Bank (ADB) menyebutkan, melemahnya prospek pertumbuhan di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan India, ditambah pemulihan di sejumlah perekonomian industri utama, secara bersamaan akan menahan pertumbuhan di kawasan Asia berkembang.
Setidaknya hal tu terjadi pada 2015 dan 2016 hingga berada di bawah proyeksi sebelumnya. Dalam publikasi ekonomi tahunan Asian Development Outlook 2015 Upadate, ADB kini berpandangan, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) di kawasan ini akan sebesar 5,8 persen pada 2015 dan 6,0 pada 2016.
Angka itu lebih rendah dari perkiraan Maret lalu yakni 6,3 persen untuk kedua tahun tersebut. "Meskipun mengalami perlambatan, kawasan Asia berkembang diperkirakan masih menjadi kawasan dengan kontribusi terbesar bagi pertumbuhan dunia," ujar Chief Economist ADB, Shang Jin Wei, Selasa, (22/9).
Ia menambahkan, ada sejumlah hambatan yang terus mengancam, di antaranya tekanan mata uang dan kekhawatiran keluarnya arus modal.
Menurut dia, agar dapat bertahan dari fluktuasi tingkat suku bunga internasional dan guncangan keuangan lain. "Perlu diterapkan aturan kehati-hatian makro, yang bagi beberapa negara mungkin mencakup manajemen aliran modal seperti membatasi ketergantungan terhadap pinjaman dalam mata uang asing," jelas Shang Jin Wei.
Pertumbuhan di sejumlah perekonomian industri diperkirakan melambat ke 1,9 persen pada 2015, turun dari perkiraan pada Maret 2,2 persen. Hal ini seiring dengan masih lemahnya konsumsi dan investasi, kendati ada tanda positif seperti peningkatan prospek kawasan Euro dan terus bertumbuhnya Amerika Serikat.
Saat ini, ekonomi terbesar kedua di dunia RRT, tengah mengalami perlambatan pertumbuhan pula karena menurunnya investasi dan lemahnya ekspor pada delapan bulan pertama 2015.
Pertumbuhannya kini diprediksi sebesar 6,8 persen pada 2015, turun dari proyeksi sebelumnya sebesar 7,2 persen dan di bawah capaian 2014, sebesar 7,3 persen.
Sedangkan di India, lemahnya permintaan eksternal dan reformasi penting yang berjalan lebih lambat dari yang diperkirakan menjadi kendala bagi percepatan pertumbuhannya, kini diperkirakan sebesar 7,4 persen pada 2015, sebelumnya 7,8 persen.
Shang Jin Wei menyatakan, kawasan Asia Tenggara memikul beban terberat akibat pelemahan di RRT yang merupakan pasar utamanya. Permintaan dari beberapa negara industri juga belum membaik, sehingga pada 2015 hanya 4,4 persen, sebelum naik lagi ke 4,9 persen pada 2016.
Harga komoditas dunia yang melemah, termasuk minyak dan pangan pun menyebabkan rendahnya tekanan harga, dengan inflasi regional yang diproyeksikan menurun ke 2,3 persen pada 2015, sebelumnya mencapai 3 persen pada 2014. Peningkatan inflasi diperkirakan pula akan terjadi pada 2016.