Petani sawit lainnya Surasa mengaku, heran dengan jatuhnya harga sawit tersebut. Padahal, kata dia, saat ini harga crude palm oil (CPO) tidak mengalami penurunan. Dia menyebut, rata-rata semester pertama 2015, harga CPO mencapai Rp 8,2 juta per ton.
Namun fakta di lapangan, kata pemilik lahan sawit 50 hektare ini, petani sawit justru menerima harga yang jauh dari menguntungkan. “Pabrik kepala sawit (PKS) menjual CPO dengan dollar. Sementara nilai tukar dolar Amerika terus menguat. Tapi mengapa, harga di petaninya justru sangat-sangat anjlok, terendah Rp 300 per kg,” ujarnya.
Di sisi lain, kata Surasa, kelompok tani sawit yang ada di Riau, tidak bisa memperjuangkan harga. Bahkan, asosiasi pengusaha sawit pun tak banyak membantu untuk menekan harga menjadi lebih baik. “Di sini campur tangan pemerintah harus segera dilakukan. Petani sawit sudah ‘sekarat’, tak bisa berbuat apa-apa. Kita tinggal menunggu hancur saja bila tak ada solusi dari pemerintah,” tegasnya.
Selain karena faktor anjloknya harga jual sawit, petani pun dipusingkan dengan menurunnya tingkat produksi per satuan luas. Petani sawit lainnya Hendra (45) mengatakan, akibat kemarau panjang, produksi buah sawit mengalami penurunan sekita 10 persen.
"Produksi normal sekitar 3 ton per hektare-nya. Tapi, karena kemarau ini, produksi jadi turun hingga 75 persen persen-nya," kata Hendra yang memilik dua hektare lahan sawit.
Penurunan ini, kata dia, akibat tidak adanya air sebagai dampak kemarau panjang, untuk menyiram tanaman sawit. Dengan kondisi kekeringan seperti sekarang ini, ungkap Hendra, jelas pohon sawit tidak bisa berbuah secara optimal.