EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi jilid kedua Selasa (29/9), kemarin. Salah satunya mengenai pemangkasan pajak deposito devisa hasil ekspor (DHE) yang sebelumnya 20 persen.
Pengamat ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Latif Adam, menyatakan kebijakan tersebut akan berpengaruh terhadap eksportir yang menyimpan DHE di luar negeri untuk menyimpan di dalam negeri.
Namun, sulit memprediksikan seberapa signifikan pengaruh tersebut. Sebab, mau atau tidaknya ekportir menyimpan dana DHE di perbankan nasional tergantung seberapa efektif dan mampu perbankan nasional memenuhi kebutuhan eksportir.
"Keluhannya para eksportir bukan tidak mau menyimpan deposito DHE di bank nasional tapi bank nasional tidak mampu memenuhi kebutuhan ekportir," kata Latif saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (30/9).
Latif mencontohkan, biasanya eksportir juga bertindak sebagai importir, mereka perlu resi untuk pembayaran yield di luar negeri maupun untuk membayar impor sekaligus membayar ekspor.
Masalahnya, resi yang diterbitkan bank nasional seringkali dianggap tidak punya reputasi dan dipertanyakan bank yang menjadi rujukan di luar negeri. Contoh lainnya, eksportir yang menyimpan DHE di bank Singapura jika ada transfer dana besar langsung ada pemberitahuan dan prosesnya cepat.
Sementara di bank nasional, eksportir yang aktif menanyakan transfer dana. Hal itu dianggap menyulitkan eksportir jika dana DHE dimasukkan di perbankan nasional.
Selain itu, agak sulit bagi eksportir dan importir untuk menyimpan dana dalam jangka lama. Karena cash flow dari eksportir sangat cepat, untuk impor bahan baku dan ekspor dalam bentuk barang jadi.
Sementara, pemangkasan pajak deposito DHE dalam skema satu bulan, tiga bulan hingga enam bulan dengan pajak semakin rendah jika jangka waktu semakin lama.