EKBIS.CO, JAKARTA -- Paket kebijakan ekonomi Jokowi yang sudah terbit dinilai tidak menggigit, kurang greget, dan kurang memasyarakat. Hal ini membuat paket tersebut kurang terasa manfaatnya dalam jangka pendek ini.
Menteri Keuangan di era Presiden Soeharto, Fuad Bawazier menyarankan seharusnya paket kebijakan ekonomi diterbitkan setelah aturan-aturan pelaksanaan yang diperlukan sudah lengkap. "Supaya paket tersebut bisa langsung diimplementasikan dan pasar menjadi tidak ragu-ragu pada keseriusan atau komitmen pemerintah," ucapnya dalam pernyataan tertulis, Selasa (6/10).
Untuk menutup kekurangan-kekurangan paket kebijakan sebelumnya, Fuad mengusulkan tujuh butir kebijakan yang seharsnya diambil oleh Presiden Jokowi agar ekonomi yang lesu ini bisa menggeliat kembali, yaitu menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), turunkan pula tarif dasar listrik termasuk industri agar lebih kompetitif, serta tidak mengusut asal usul deposito dan tabungan di perbankan.
"Tujuannya agar dana-dana yang tersimpan di luar negeri ataupun di luar perbankan (di bawah bantal) masuk ke sistem perbankan untuk menguatkan dana pihak ketiga yang tersimpan di bank-bank," kata dia.
Menurut Fuad, masyarakat tidak perlu takut khususnya pada aparat pajak. Kebijakan ini, ungkapnya, pernah diambil pada zaman Presiden Soeharto memerintah pada 1985 dan amat sukses.
Kemudian, Ditjen Pajak tidak perlu mengusut asal usul modal usaha (baik modal baru maupun modal tambahan) dan tidak mengenakan pajak atas dana modal itu. Tujuannya agar dana-dana yang di simpan di luar negeri (sekitar Rp 4.000 triliun) dipulangkan dan didayagunakan untuk menggerakkan ekonomi Indonesia, serta menambah cadangan devisa.
Kebijakan selanjutnya yang harus diambil Jokowi adalah memperbolehkan orang pribadi asing membeli apartemen (non landed houses) di wilayah DKI tanpa pembatasan harga. Tujuannya untuk menggerakkan sektor properti yang sedang lesu. "Sektor ini mempunyai multiplier effect besar dalam perekonomian," kata Fuad.
Selain itu, pemerintah perlu melonggarkan izin pertambangan rakyat mengingat potensi usaha pertambangan di Indonesia relatif merata di seluruh wilayah sehingga mampu menggerakkan perekonomian rakyat. Terakhir, deregulasi total perizinan di Indonesia baik di pusat maupun di daerah agar cepat dan murah, termasuk izin pendirian izin usaha baru dan lama.
Fuad menyebut perizinan telah menjadi bisnis banyak oknum pejabat, bahkan dengan menggunakan calo sehingga menjadi sumber high cost economy dan melahirkan perlombaan menerbitkan izin 'ini-itu' sebagai sumber penghasilan. "Semoga Presiden Jokowi mampu menembus halangan birokrasinya sendiri," kata Fuad berharap.